PART 4

6.6K 416 38
                                        

Sepulang lek Jat yang akan menghadiri tahlilan bersama warga termasuk ayahku, di mushola kampungku. Kutengok keadaan Sofi, ia sedang tidur dengan slang infus di tangan kanannya. Tak tega rasanya melihat keadaannya yang hampir saja depresi, apa karena waktu kecelakaan mbak Santi waktu itu kami yang sengaja acuh meski mengenalnya. Berlalu begitu saja, saat mengetahui ia sedang sakratul maut, bukankah mbak Santi tau, tentang phobia yang kuderita sedari kecil.
Bukan salah Sofi, jika harus melihat kondisi mbak Santi meninggal secara mengenaskan.

Semakin kupikirkan, semakin berat rasanya seiring beban pikiran yang ku alami.
Bukankah orang yang sudah meninggal itu sudah tidak ada hubungan dengan dunia ini lagi, lalu kenapa setiap malam mbak Santi datang mengetuk pintu rumah setiap warga.

Cling...

Nada pesan di gawaiku berbunyi, kubuka pesan yang Juminten kirimkan padaku, ia akan menyusul ke puskesmas dengan segudang berita yang ia bawa.

Melihat wajah Sofi tertidur pulas, hatiku sedikit lega, kutarik kursi di sebelah ranjangnya untuk dudukku.
Sambil menemani Sofi ku coba menangkan diri di sampingnya.

Suasana hatiku hari ini sangat kacau, perutku terasa kram sedari kemarin, serta kepala sedikit sakit.

Aku lupa !

Setengah berlari kuhampiri ibu depan ruang inap.

"Buk aku halangan," kataku mulai panik, di sisi ibuku.

Ibu menautkan kedua alisnya seraya berkata, "yo opo se Shep, ora ngowo p*****t?" (gimana sih tidak bawa ***** ) ke arahku.

"Yo ora, budal nyusu-susu kok" Jawabku, manyun.

"Ndang tuku" (cepat beli) Kata Ibu, mengambil dompet dari tasnya, lalu memberikan uang pecahan padaku.

Mbak Ocha yang baru saja dari kamar mandi, memandangiku heran.

"Napo Shep" (Kenapa) Tanya mbak Ocha padaku, ia nampak segar seusai mandi.

"Halangan Cha" Sahut ibuku cepat.

"Njaluk terno Juminten ae mariki" (Minta antar Juminten saja habis ini) Kataku, lalu membuka bungkus plastik makanan, yang di bawa ibu dan Lek Tutik dari rumah.

Tak berapa lama Juminten datang, wajahnya nampak sumringah.

"Napo awakmu nguya nguyu dewe koyok wong stres" (ngapain kamu senyum senyum sendiri mirip orang setres) Kataku yang melihat Juminten datang senyam senyum sendiri.

"Dari pada nangis koyok Ocha karo awakmu" Jawab Juminten asal.

"Ngowo opo koen iku Jum" (bawa apa kamu itu jum) Tanya mbak Ocha, pada Juminten dengan plastik berisi martabak pesananku.

"Martabak, aku lak apik'an ora koyok Shepia elek'an" (Martabak, aku kan baik tidak seperti Shepia jelek) Canda Juminten.

"Terno aku nang mini market" (Anterin aku ke mini market) Kataku pada Juminten.

"Lapo, aku ae sek tas teko" (Ngapain, aku aja baru datang) Kata Juminten langsung duduk di sebelahku.

"Tuku roti" (Beli roti) Jawabku asal lalu berdiri, ku tarik tangan Juminten ke atas agar ia berdiri lagi.

Kami berdua menyusuri lorong puskesmas, menuju parkiran motor yang tak jauh dari ruang rawat inap, tempat Sofi di rawat. Sesekali ku tanyakan keadaan di rumah pada Juminten.

"Nyeleh korek mbak" (pinjam korek, mbak) Suara lelaki dengan rambut di kuncir ke belakang ke arahku.

"Ora rokok an mas" Jawab Juminten sopan.

"Nek nomer wa, due?" Katanya lagi, aku risih dengan situasi ini.
"Age Mbak, seng kaos putih" (Buruan mbak yang kaos putih) Rayunya lagi, kali ini rayuan itu di tunjukan padaku yang memakai kaos putih, dua pemuda ini menghalangi jalanku dan Juminten.

ARWAH PENASARAN SANTITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang