Bel masuk sudah berbunyi, tanda jam pelajaran pertama akan segera dimulai. Tapi Quinna masih di dalam salah satu bilik toilet sekolah. Perutnya melilit entah kenapa.
"Dia belum datang ya?"
Suara Maria bukan si? batin Quinna.
"Belum lihat sih gue, paling nggak masuk."
Hmm bener kan, kali ini Cika, yang mereka bicarakan pasti aku. Jadi penasaran lanjutan obrolan mereka.
Quinna tersenyum, masih bicara dalam hati. Dia tahu yang di toilet bersamanya adalah kedua sahabatnya.
"Ratu mah bebas, tapi sayang aja kalau dia nggak masuk, nggak ada yang nraktir kita makan siang dong!" lanjut Maria.
Mendengar kalimat barusan membuat Quinna mengernyitkan kening.
"Yah tapi nggak pa-palah, setidaknya sehari ini kita nggak perlu akting dan mengekor ke mana pun dia pergi, 'kan?" timpal Cika.
"Ya, ya, bener juga sih, tapi Bimo pasti nggak dekat-dekat ke meja kita kalau nggak ada Yang Mulia Ratu, 'kan?"
"Justru ini kesempatan, kali ini lo-lah yang ke meja Bimo, kelamaan kalau nungguin Bimo berpaling dari Ratu! Yuk!" Mereka pun keluar dari toilet.
Yang mereka panggil 'Ratu' dari tadi itu aku? Jadi selama ini ....
Lagi-lagi Quinna hanya bisa menerka-nerka sendiri. Ternyata selama ini dua orang yang dianggapnya sahabat malah menggunjingkan dan hanya berpura-pura baik di depannya. Ada perasaan bergemuruh di dada, sampai mengalahkan rasa sakit di perut yang dari tadi dideritanya. Apa yang harus dia lakukan dengan mereka setelah ini?
"Quinna! Kamu terlambat lagi, hah?" tanya Pak Rusman kala melihat Quinna baru memasuki ruang kelas, bahkan tanpa mengetuk pintu ataupun sekedar ucapan permisi.
Quinna melenggang dengan santai menuju bangkunya tanpa menghiraukan kegiatan belajar-mengajar yang sedang berlangsung.
Pak Rusman pun cuma bisa menggeleng melihat tingkah muridnya ini. Ingin menegur, tapi mengingat walaupun dengan ketidaksopanan Quinna barusan, kenyataannya dialah yang selalu menjadi juara umum di sekolah ini.
Kalau biasa sang bintang sekolah di mana-mana sosoknya alim, nggak banyak tingkah, atau mungkin cenderung kuper, bukan begitu dengan Quinna, yang semaunya sendiri, banyak melanggar aturan sekolah dengan sering terlambat masuk kelas.
Tapi jangan pernah meragukan kemampuannya dalam berdiskusi, berdebat, mengutarakan pikiran soal pengetahuan di bidang apa pun, Quinna selalu bisa diandalkan.
Itu pula yang menyebabkan beberapa guru lebih banyak diam, karena sejauh ini mereka hanya menganggap itu bentuk kenakalan remaja yang belum terlalu parah. Banyak juga yang berasumsi bahwa semua perbuatan indisipliner yang dilakukan Quinna sebagai bentuk rasa ingin tahu, bukan bentuk mencari perhatian seperti sebagian orang lainnya berasumsi.
Quinna hidup di tengah keluarga sempurna yang selalu memperhatikannya. Prestasi di sekolah pun membuatnya tak mungkin tidak menjadi pusat perhatian baik dari jajaran dewan guru ataupun dari para teman seangkatan dan bahkan adik kelasnya. Belum lagi ditunjang dengan penampilan Quinna yang tak bisa diabaikan begitu saja.
"Dari mana?" tanya Maria sesaat setelah Quinna duduk.
"Toilet," jawab Quinna singkat tanpa menoleh dan pura-pura mulai sibuk dengan mengeluarkan segala peralatan sekolahnya, padahal dari sudut mata Quinna masih bisa menangkap keterkejutan sesaat yang dialami Maria—mantan sahabatnya itu—kala dia menyebut kata 'toilet' tadi. Tak sudi lagi Quinna mengakui Maria dan Cika sebagai sahabatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Quinna (Completed)✔
RomanceMenjadi seorang Pradipta merupakan satu beban tersendiri bagi seorang Quinna. Tak jarang, orang lain memanfaatkan apa yang Quinna miliki entah itu ketenaran, kepintaran, kecantikan fisik atau kekayaannya hanya demi kepentingan pribadi mereka sendir...