9. Day-1

1.3K 274 38
                                    

"Arkana ...." gumam Quinna pelan, tapi sebenarnya dia bukan sedang menjawab Hendrik, melainkan karena saat ini dia melihat sosok itu tak jauh dari tempatnya berdiri, sedang asik membidikkan kameranya. Mengabadikan tingkah para calon peserta dan interaksi antar sukarelawan yang tadi juga sempat menjadi pusat perhatiannya.

Kameranya terus bergerak mencari obyek yang dia sukai, sampai lensa itu mengarah pada Quinna.
Cepat-cepat Quinna mengalihkan pandangan.
"Oh kamu kenal Arkana?" tanya Hendrik yang sempat mendengar gumaman Quinna tadi.
"Hah, gimana, Mas?" Quinna pun kelabakan seperti tertangkap basah sedang memperhatikan Arkana, padahal memang iya.

"Enggak, tadi kamu bilang yang ngajarin kamu bahasa isyarat namanya Arkana? Gitu kan?"
"Oh, enggak ah, Mas. Emang tadi aku bilang gitu ya?"
"Lho, bukan ya? Kirain kamu kenal sama Arkana, tuh dia orangnya yang lagi megang kamera ...." lanjut Hendrik menjelaskan.
Quinna melirik sekilas pada orang yang dimaksud, khawatir kalau-kalau kamera masih mengarah padanya, tapi ternyata Arkana malah sedang memunggunginya.
Apa yang kukhawatirkan sih? Lagi pula belum tentu dia mengenaliku dengan penampilan seperti ini. Atau bahkan jika aku tidak merubah penampilan sekalipun, belum tentu juga dia masih mengingatku, pikiran Quinna pun melayang-layang sendiri.

"Hayo! Terpesona ya?" ledek Hendrik sembari menjentikkan jarinya di depan muka Quinna yang segera membuyarkan semua lamunan Quinna.
"Hah? Enggaklah, Mas ... " diam sejenak, menata rasa percaya dirinya, Quinna pun melanjutkan, "emangnya dia siapa, Mas?"

"Dia salah satu sukarelawan senior di sini. Kalau nggak salah hampir empat tahunan dia bergabung dan ikut membesarkan komunitas ini."
"Oh ... salah satu pengurus seperti Mas?"
"Bukan, dia nggak mau dijadikan pengurus tapi walau begitu kontribusi yang dia dan keluarganya berikan sangat besar," lanjut Hendrik sembari menatap punggung Arkana, membuat Quinna mau tak mau mengikuti arah pandangannya.
"Keluarganya?"
"Ya, keluarganya salah satu donatur tetap di komunitas kita."
"Oh gitu, tapi apa dia tuli, Mas?"

Hendrik tampak terkejut dengan pertanyaan yang diajukan Quinna, tapi dia tetap menjawab, "Semua sukarelawan di komunitas kita normal, Quin. Kenapa kamu bertanya demikian?"
"Oh nggak, Mas, hanya kukira karena keluarganya menjadi donatur di sini, itu karena putra mereka ...." Quinna tak melanjutkan perkataannya karena merasa tak enak.
"Tuli? Sebut aja nggak pa pa, kamu harus membiasakan diri bahwa orang-orang seperti kami ini juga hanya ingin dianggap senormal mungkin, santai saja. Oh dan tidak, Arkana nggak tuli atau tuna rungu sekalipun, dia sama seperti kamu bisa mendengar."
Quinna pura-pura mengangguk mengerti. Walau dalam hati dia sedang ngomel tak karuan, jadi dia nggak tuli, bisa ngomong juga, lantas kenapa dia harus pakai bahasa isyarat waktu bicara dengan orang lain? Sumpah ngeselin, mau pamer atau apa sih?

"Oh dan kenapa aku menyebut kami, karena para sukarelawan harus membiasakan diri, menyamakan diri dengan para penyandang disabilitas itu, Quin. Kamu juga harus mulai terbiasa," sambung Hendrik masih menerangkan tentang komunitasnya.
"Siap, Mas."

Beberapa saat kemudian mereka dikumpulkan dan mulai dibagi ke beberapa minibus yang akan membawa mereka ke lokasi villa yang dimaksud Hendrik tadi.
Quinna sempat mencuri pandang pada Arkana, sekali tanpa sengaja mata mereka bersirobok, hingga membuat Quinna salah tingkah, sedangkan Arkana biasa saja kembali terpaku pada lensanya.
Terbukti, dugaan Quinna bahwa Arkana tak mengenalinya ternyata benar, jadi dia tak perlu khawatir lagi.

Kali ini Quinna sudah berada di dalam minibus bersama beberapa rekan calon sukarelawan dan ada dua orang senior yang menemani.
Sedangkan lelaki itu, Arkana maksudnya, tampak mengendarai mobil pribadinya, plat B, batin Quinna. Yang artinya kemungkinan besar dia memang dari ibukota, karena pertemuan pertama mereka dulu juga di Bandara Soekarno hatta.

Quinna (Completed)✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang