Hari berganti minggu, minggu berganti bulan, kini Quinna adalah mahasiswi di fakultas ilmu sosial dan ilmu politik jurusan hubungan internasional di salah satu universitas negeri terbaik di kota pahlawan, Surabaya.
Sebelum keberangkatannya, Quinna sempat heran karena Mamanya tak bisa atau tidak berniat mengantarnya sampai ke Surabaya. Jadi, dia hanya ditemani Papa dan adiknya, Elang.
"Pa, kenapa Mama nggak ikut? Mama masih marah karena Quinna kuliah di Surabaya ya?" Kala itu mereka sedang membongkar barang dan menyusunnya di tempat tinggal Quinna yang baru, sebuah indekos khusus perempuan yang nyaman dan kamarnya cukup luas. Tanpa sepengetahuan keluarganya, Quinna bahkan menyewa satu kamar lagi yang berukuran lebih kecil dan terletak tepat di samping kamarnya yang asli, nantinya ruangan itu akan dia gunakan untuk mini studionya saat dia harus siaran daring.
"Enggak ... Mama sudah mengikhlaskan kamu untuk kuliah di sini kok, asal Kakak menepati janji, nggak macam-macam selama di sini ya!"
"Iya, Pa ... orang cuma kuliah aja─"
"Jangan lupa! Pesantren ...."
"Iyaaa ... sama itu juga, Papa sayang."Aiden banyak meninggalkan wejangan untuk putrinya, walaupun khawatir, sama dengan istrinya dia harus mengikhlaskan karena putrinya telah beranjak dewasa dan sudah saatnya mencari jati dirinya.
Quinna teramat kritis, cerdas dengan caranya sendiri, Aiden pun percaya Quinna pasti bisa menepati janji untuk menjaga dan memperbaiki dirinya.***Tika R Dewi***
"Quin, dipanggil Bu Maryam, soal tugasmu. Kenapa ya? Kamu nulis soal apaan sih?" tanya Tara teman yang sedang berusaha dekat dengan Quinna, sedangkan Quinna bersikap biasa saja, masih trauma dengan niat terselubung dibalik kata 'teman'. Walaupun saat ini Quinna tak lagi sama, bahkan telah menanggalkan nama Pradipta untuk urusan kampus.
Dengan rekan sesama mahasiswa dia hanya memakai nama Quinna Adeline, sedangkan untuk urusan yang lebih resmi seperti absensi dan yang lain dia meminta pihak kampus menyingkat dengan cukup menyematkan huruf 'P' setelah dua kata pertama namanya.
Bahkan untuk penampilannya pun ... tapi dia tak ingin cepat percaya pada orang yang menawarkan pertemanan.
"Ya udah, aku ke ruang dosen dulu," balasnya sambil menaikkan posisi kacamatanya, juga sedikit membenahi letak jilbab segi empatnya yang terlalu maju.***Tika R Dewi***
"Jadi? Kenapa Bu Maryam memanggilmu?" tanya Tara masih saja penasaran ketika mereka berada di salah satu kantin di sudut kampus.
"Kenapa kamu selalu mau tahu semuanya?" Quinna malah balik bertanya dengan nada judesnya.
Tapi Tara sudah kebal diperlakukan demikian, jadi seperti yang sudah-sudah dia hanya mengabaikannya saja dengan mengedikkan bahunya.
"Eh, Quin, aku main ke kosanmu ya?"
"Enggak!"
"Aku nggak akan ngapa-ngapain─"
"Nggak!"
"Aku─"
"Enggak! Tara ... you ... ah, sudahlah." Quinnapun menyerah melarang Tara mendekatinya.
"Quinna, aku nggak tahu kenapa kamu lebih suka sendiri ... umh ... dan aku juga nggak ada maksud lain, serius, aku cuma pengin ngobrol sama kamu."
"Yeah? And why me?" tanya Quinna, lagi-lagi sembari membetulkan letak kacamata palsunya.
"Entah ... by the way, Quin, mungkin kamu harus ganti kacamatamu, sekarang juga udah jamannya softlens," jawab Tara seraya mengalihkan perhatian.
"Aku lebih suka begini."
"Hmm ... okey, terserah kamu saja. Tapi kalau kamu mau ganti ke softlens kasih tau aku ya, aku ada kenalan yang jual merek-merek bagus tapi harganya miring."
Quinna menatap Tara dengan pandangan heran.
"Ka─"[Panggilan Video] -Alex-
Quinna langsung menggeser tombol merah, menolaknya.
"Cowok kamu?" Sumpah ni anak keponya kelewatan, pikir Quinna, tapi dia hanya mendiamkannya saja.
"Oh ... atau kamu malu VC di depan aku ya? Its fine, kalau gitu aku─"
"Bukan, dia bukan pacar, hanya teman, nanti biar aku telpon dia balik, masih makan juga akunya." Menyerah, akhirnya Quinna menjelaskan.
"Oh ... tapi sepertinya kamu sering banget nolak panggilan dari dia, lagi berantem ya sama teman kamu?" Quinna merasakan sindiran Tara, ketika dia menyebut kata teman dengan cara yang berbeda.
"Dia beneran teman─"
"Hey, I didn't say anything ...."
Quinna menghela napas, lagi-lagi menyerah tak ingin mendebat teman barunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Quinna (Completed)✔
RomanceMenjadi seorang Pradipta merupakan satu beban tersendiri bagi seorang Quinna. Tak jarang, orang lain memanfaatkan apa yang Quinna miliki entah itu ketenaran, kepintaran, kecantikan fisik atau kekayaannya hanya demi kepentingan pribadi mereka sendir...