3. On Board

1.8K 366 24
                                    

Di terminal 3 Bandara Soekarno-hatta, Quinna bersiap munuju check in counter.
Dia masuk ke antrian sembari membawa paspor di tangan kiri dan mendorong koper berukuran sedang di tangan kanannya.
Sengaja dia mengambil flight pagi karena ingin segera menghabiskan waktu liburan bersama Alex serta segera melupakan teman-teman palsunya dan mantan pacar tak tahu diuntung itu.

Sampai beberapa waktu yang lalu Quinna masih tak habis pikir, berapa lama dia telah tertipu dengan pertemanan palsu yang ditawarkan Maria dan Cika?
Apakah sejak awal memang itu tujuan mereka dekat dengan Quinna, untuk dapat mengambil manfaatnya saja?
Belum lagi Bimo dan taruhannya ... pikiran demi pikiran masih saja saling tumpang tindih.

Menjelang liburan Bimo bahkan masih saja ngotot dengan perasaannya, pantang menyerah meminta maaf agar Quinna mau menerimanya kembali.
Quinna tahu sih, kalau Bimo benar menyukainya, tapi sayangnya tidak sama halnya dengan Quinna. Jadi tidak mungkin untuknya menerima Bimo kembali.

Sedangkan Maria dan Cika, sampai saat setelah ujian mereka masih tidak menyadari bahwa Quinna telah tahu kemunafikan mereka.
Quinna memang tidak berniat memberitahu, toh setelah ini dia pindah ke kota lain dan yang akan dia lakukan adalah memblokir mereka dari semua yang menyangkut dirinya.
Huh, Ratu bebas kan?! pikirnya.

"Selamat pagi," sapa ground crew dari maskapai Garuda Indonesia yang melayani proses check in.
Tak disadari, melamunkan Maria, Cika dan Bimo tiba-tiba membawa Quinna sampai ke meja check in.
Quinna pun menyerahkan paspor dan menunjukkan e-ticket dari ponselnya. Dia sengaja memilih check in manual alih-alih menggunakan web check in, karena dia membawa bagasi, ini gara-gara beberapa barang titipan Alex juga.
Menyelesaikan segala proses check in, Quinna pun segera berjalan menuju boarding room.

Untungnya dia bisa meyakinkan keluarganya untuk tak turut mengantar ke bandara, "Enggak usah, Ma. Malu ah, masa liburan cuma lima hari ke negara sebelah aja pakai diantar segala ...."
"Ya memangnya orang-orang di bandara tahu kamu mau perginya kemana, berapa lama, enggak kan?"
"Jangan-jangan kakak janjian sama seseorang ya di bandara, makanya nggak mau kita anter?!" komentar Elang yang mendapat hadiah tendangan di kaki dari kakaknya.
"Ngasal deh! Enggak, Ma ... nanti tuh kalau Quinna kuliah, baru deh kalian boleh antar, sampai kotanya langsung juga nggak pa pa. Kalau besok pagi aku diantar Pak Dim aja, okey, Ma," pinta Quinna semalam sembari Quinna menyusun barang-barang yang akan dibawanya.
Pak Dim sendiri adalah sopir keluarga yang menggantikan almarhum ayahnya Pak Min yang dulu juga mengabdi pada keluarga Pradipta secara turun temurun.
"Hmm ... ya sudah Mama menyerah, bangun pagian, kamu nggak boleh pergi kalau enggak sarapan dulu besok!"
"Okey siap, Ma."

Menuju ruang tunggu pesawat tentu saja Quinna harus melalui pemeriksaan imigrasi dulu. Sibuk mencari ponselnya tanpa sadar Quinna menabrak seseorang yang juga berada dalam antrian yang sama.
"Eh ... maaf, Mas." Lelaki yang tanpa sengaja ditabraknya menoleh sesaat padanya lalu langsung kembali menghadap ke depan.
Dih sombong amat, orang udah minta maaf dijawab kek, batin Quinna.
Padahal cakep, eh ... kan Quinna mulai kemana-mana pikirannya, lagi-lagi Quinna berkata dalam hati.

Akhirnya, Quinna pun melanjutkan pencarian ponselnya, setelah ketemu dia mengetikkan beberapa kata untuk Alex, yang intinya memberitahukan kalau dia sudah di bandara dan menuju boarding room.
Ketika pandangannya kembali ke depan rupanya si lelaki ganteng sombong tadi sudah di meja petugas imigrasi dan sedang proses wawancara.

Dari jarak sekitar dua atau tiga meter Quinna memperhatikan sesekali lelaki tersebut menggerakkan tangannya seperti menggunakan bahasa isyarat, Oh ... Ya Allah, jangan-jangan dia tuna rungu, makanya tadi pas aku minta maaf dia nggak dengar, seperti itukah?
Quinnapun sekali lagi menilik sosok lelaki yang dia perkirakan seumuran dengannya.
Dia membawa sebuah tas yang kemungkinan isinya adalah kamera, dan benar saja rupanya petugas imigrasi memintanya mengeluarkan kamera dan bahkan menyalakannya.
Beberapa kali terlihat lelaki itu seperti menuliskan sesuatu di meja petugas.

Quinna (Completed)✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang