"Yes!"
"No!"Quinna pun refleks menoleh ke arah Arkana, sementara Arkana memejamkan mata menyesali kebodohannya sendiri yang baru saja kelepasan menyuarakan jawabannya.
"You can talk?" bisik Quinna bertanya pada lelaki di sampingnya.
Tapi Arkana bungkam, menoleh pun tidak, Quinna sampai kesal dan penasaran sendiri."Kalian tahu orang-orang tadi?" Petugas itu mulai menggunakan Bahasa Indonesia dengan logat melayu setelah mengetahui asal negara mereka.
Arkana hanya menggeleng, sementara Quinna pun menjawab, "Enggak, Pak. Kami tidak mengenal mereka dan tadi mereka sempat mengganggu kami ...."
"Apa kalian mau bicara di kantor saja?"
Arkana lagi-lagi hanya menggeleng kembali ke mode diam sejuta bahasanya. Quinna menatap tak percaya, ni cowok benar-benar deh, unbelievable banget, batinnya."Okey, kalau begitu, selamat jalan dan hati-hati," ujar petugas tadi sambil mengembalikan paspor mereka pada Arkana. Arkana pun memperhatikan sekilas paspor-paspor yang dia pegang dan menyerahkan paspor Quinna pada pemiliknya. Mata mereka pun sempat bersirobok sebentar, tapi Arkana cepat mengalihkan pandangannya.
"Thank you," ucap Quinna entah Arkana melihat atau tidak.Sesaat setelah mereka berpisah jalan dengan para petugas security Siloso Beach, Arkana langsung melangkah pergi meninggalkan Quinna.
"Hei!" Quinna tiba-tiba menyentak lengan Arkana hingga mereka kembali berhadapan.
"Jadi selama ini kamu bisa bicara?" tanyanya, tapi Arkana memulai lagi berbicara dengan bahasa isyarat.
Quinna mulai tak sabar, "Kalau selama ini kamu bisa ngomong, kenapa harus pakai bahasa isyarat? Jelas-jelas tadi kamu bisa menjawab pertanyaan petugas tadi." Arkana bergeming.
"Kenapa harus pakai ditulis di buku segala coba?" lanjut Quinna lagi yang tetap tak mendapat jawaban dari lawan bicaranya.
Arkana malah beranjak begitu saja, lagi-lagi Quinna pun kesal dibuatnya.
Berniat mengejar lagi, tapi urung karena dering ponselnya -Alex- dibacanya nama yang tertera di layar."Ya, Lex ...."
"Gue di Siloso ... hmm ... nggak usah, ini gue udah mo balik kok ... ya ... okey ketemu di station ...." Panggilan diakhiri, Quinna melihat sekelilingnya dan Arkana tak lagi ada dalam jangkauan pandangannya.
"Kenapa juga aku merasa terganggu dengan kehadirannya, sih?" gumamnya dan akhirnya mulai berjalan ke arah MRT station dan membatalkan acara jelajah lanjutan Siloso Beach, lagipula ini bukan kali pertama dia mengunjungi tempat ini."Cepet banget sih ngilangnya? Udah sampai Siloso aja, baru ditinggal ngobrol─"
"Tadi, gue ketemu dia ...." potong Quinna atas sambutan Alex, ketika mereka bertemu kembali di Waterfront Station.
"Hah? Dia? Dia siapa?"
"Teman seperjalanan di pesawat ...."
"Oh, dia ... jodoh banget ya kayanya kalian, segede-gedenya Singapore dan banyaknya orang di negara ini, kalian bisa ketemu lagi lho!"
Quinna tak menanggapi sindiran Alex, pikirannya sedang mengembara ke tempat lain.
"Serendipity ... lo pernah dengar soal itu, kan?" lanjut Alex lagi."Dia bisa ngomong!" Tiba-tiba Quinna berucap demikian. Saat ini mereka berada dalam MRT.
"Hah?"
"Tadi gue dengar dia ngomong," jawab Quinna masih saja tak habis pikir.
"Ya terus? Deaf people bukan berarti mereka mereka juga tuna wicara, Quin, so?"
"But ... biasanya mereka agak beda kan ketika bicara, sengau atau semacamnya gitu?"
"Ah, nggak juga! Bisa saja dia bukan deaf dari lahir, jadi dia sudah mengenal bunyi dan bentuk kata ...."
"Masuk akal sih─"
"Iyalah! Alex!"
"By the way, kenapa lo selalu bilang deaf alih-alih tuli?"
"Why? Kita udah biasa mencampuradukkan bahasa, bukan?"
"Entah ... apa hanya karena itu?"
"Well, mungkin hanya masalah kenyamanan," jawab Alex tak begitu ambil pusing mau pakai istilah apa.
"Arkana sempat membahas soal istilah ini, bahwa mereka tidak masalah dengan sebutan tuli daripada menggantinya dengan istilah tuna rungu."
"So, his name is Arkana?"
"Ck ... lo salah fokus!"
"Haha ... okey, what's the different?"
"Jadi tuli itu kalau bawaan dari lahir, sedangkan tuna rungu bukan dan biasanya atas diagnosa dokter, semacam itulah."
"Dan si Arkana ini, yang mana?"
"Gue juga auto nanya sama kaya lo gini, tapi dia cuma senyum doang dan nggak bilang apa-apa. Atau jangan-jangan nggak keduanya?"
"Tunggu deh, jadi dia jelasin semua yang tadi lo bilang itu pakai apa? Bahasa isyarat?"
"Nope ... gue 'kan nggak ngerti sign language, jadi dia menulis penjelasannya di buku notes gue," jelas Quinna.
"Seriously? Dan padahal dia bisa ngomong?" Kali ini Quinna hanya mengangguk menjawab Alex.
"Aneh sih ..." Alex menerawang, "mungkin dia takut sama mamanya ...."
"Hah? Apa hubungannya?"
"Kata Mama, nggak boleh bicara dengan orang asing ... aww─"
"Sial lo, gue udah serius-serius!" sela Quinna sambil menyikut Alex.
"Hahaha ... ya, dia pasti punya alasan, its not our business okey! Besok jadi ke Bugis?" Tiba-tiba saja Alex melompat dari satu topik ke topik yang lain.
"Jadi, lo ikut kan?" Dan Quinna pun menanggapi, tanda sudah saatnya berhenti membicarakan lelaki yang juga tak begitu dikenalnya itu.
"Hah ... kemarin katanya bisa sendiri?"
"Enggak serulah kalau sendiri, lo ikut aja!"
"Bilang aja lo butuh orang buat bantuin lo bawain belanjaan lo," canda Alex.
"Itu tahu!"
"Rese! Emang mau belanja apa sih?"
"Enggak banyak kok, paling titipan Elang aja, ama buat Mama─"
"Buat sahabat-sahabat lo?" Lagi-lagi Alex menggoda Quinna dengan menanyakan apa dia akan membelikan hadiah untuk Maria dan Cika.
"Iya! Gue belikan sianida!" Dan Alexpun terbahak mendengar jawaban Quinna."Tapi Lex, gue kepikiran deh ...."
"Apa lagi? Cowok itu lagi? Sapa tadi namanya?"
"Ish! Bukan ... gue kepikiran untuk rubah penampilan gue ... kaya yang lo bilang kemarin."
"Maksudnya? Operasi plastik? Jadi Itik si buruk rupa gitu?"
"Alex! Serius dong!"
"Apa ... apa?"
"Gue musti berubah seperti apa, nih?"
"Quinna ... Quinna ... just be yourself─"
"Tapi kemarin lo bilang─"
"Gue bercanda, nggak usah diseriusin! Dah mau turun, siap-siap!" Alex berdiri mendekat ke arah pintu keluar MRT dan Quinna pun mengikutinya."Teman yang tulus itu pasti ada ... kalaupun nggak ada 'kan masih ada gue," lanjut Alex tiba-tiba, tanpa menatap Quinna.
"Lo baik sama gue bukan karena suka sama gue, kan?" tanya Quinna pun tak disangka oleh Alex.
"Haha ... sayangnya bukan, kita aman!" Walau wajah Alex menampakkan keraguan yang untungnya tak terlihat oleh Quinna.Sementara Quinna masih saja kepikiran ingin merubah penampilannya, tapi kalau dia melakukannya dia takut akan melanggar kontrak kerjanya dan ditinggalkan pemirsanya.
Tapi dia merasa ingin melakukan sesuatu, agar ke depannya orang bukan melihatnya karena dia seorang Pradipta atau karena kemolekan fisiknya dan mendompleng ketenaran.***
Sekembali dari Singapore Quinna mulai merapikan barang dan menyiapkan kepindahannya ke Surabaya.
Sisa hari di Singapore kemarin, dia habiskan untuk bersenang-senang dengan Alex, tahu kalau setelah ini akan lama mereka bisa bertemu kembali.
Dan dia juga tak pernah melihat sosok Arkana lagi di sana, akhirnya Quinna pun memutuskan melupakannya, mungkin dia hanya sosok yang singgah sejenak di masa liburan."Kak, memangnya nggak mau kuliah di Jakarta aja? Sekarang di Jakarta juga sudah banyak majelis taklim yang bisa kamu datangi untuk memperdalam ilmu agama," kata Mamanya saat membantu Quinna memilah-milah barang yang akan dibawa dan tidak.
Ini adalah usaha terakhir Keira untuk merubah keputusan putrinya. Walaupun sebenarnya dia pesimis akan berhasil.
"Ma, kita udah bicarakan ini berkali-kali, Quinna pasti jaga diri, Ma. Quinna juga mau jadi anak yang baik buat Mama sama Papa. Ikhlas ya, Ma ...."
Mereka berduapun bertatapan lama, sampai akhirnya Keira menghela napas, dia mengalah dan berharap semuanya akan baik-baik saja.
Mengingat ada masa lalu pahit Keira di kota yang akan Quinna datangi, tapi dia tidak ingin egois.
Keira sadar Quinna anak yang cerdas dan pasti tahu bagaimana memegang janjinya untuk tak membuat masalah.
"Tapi kalau Mama kangen gimana?"
"Videocall, Ma. Atau Mama tinggal beli tiket dan datang ke Surabaya tengokin Quinna," jawab Quinna santai sambil mengerlingkan mata pada Mamanya yang hanya dibalas senyuman tipis.
Andai kamu tahu, Kak, batin Keira.***
Maaf ya updatenya lama, udah gitu sedikit, lagi sibuk di dunia nyata.
Semoga gak marah dan semoga bisa segera update lanjutannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Quinna (Completed)✔
RomanceMenjadi seorang Pradipta merupakan satu beban tersendiri bagi seorang Quinna. Tak jarang, orang lain memanfaatkan apa yang Quinna miliki entah itu ketenaran, kepintaran, kecantikan fisik atau kekayaannya hanya demi kepentingan pribadi mereka sendir...