"Ma-maksudnya?" Quinna belum pernah merasa segugup ini dalam hidupnya. Menunggu Arkana melanjutkan pernyataannya benar-benar menyiksa. "Apa maksudmu, surat tugasmu sudah tiba?"
Arkana menghela napasnya berat, "Seperti yang kamu dengar, itu artinya aku harus segera berangkat ...."
"Tapi ke mana? Bagaimana dengan ...."
"Dengan ...?"Pertanyaan bodoh, pikir Quinna. Ya mereka 'kan seharusnya menikah dulu. Apa dia lupa kalau dia sudah melamarku
"Ya, dengan kita? T'rus, itu ditugaskan ke mana? Beneran ke daerah perang?" Andai Arkana bisa melihat saat ini Quinna sedang mencengkeram erat ponsel di tangannya.
"Hmm ... satu-satu dong nanyanya, kita ... aku sebenarnya inginnya menikah dulu sebelum berangkat, tapi Alex ...."
Alex belum kembali dan Quinna terlanjur memberi syarat itu. Bahwa, mereka harus menemukan atau setidaknya mendapat kejelasan soal kabar Alex sebelum ijab kabul. Karena sejujurnya Quinna mulai khawatir, sudah hampir enam bulan dan Alex tak sekali pun menghubunginya. Padahal, dia tak benar-benar serius dengan perkataannya saat melarangnya menghubungi sampai pikirannya jernih.
Quinna pun mulai rindu kekonyolan yang mereka lakukan bersama. Dia juga sering mengira-ngira, mungkinkah Tara sudah bertemu Alex, tapi tak mengabarinya? Apakah Tara juga ikut marah padanya, karena Tara semakin jarang dan susah dihubungi?
"Aku belum tahu penugasanku ke mana, setelah sampai di Jenewa mungkin aku akan menerima semacam training, briefing or something like that. Jadi pertanyaanku soal wilayah perang tadi hanya iseng, maaf.
"Sore ini aku akan disumpah, dan besok, aku berangkat, jadi—""Secepat itu?" potong Quinna.
"Aku juga nggak tahu, kalau bakalan secepat ini ... sepertinya aku nggak bisa datang ke acara wisudamu." Quinna memang sempat mengundang Arkana untuk turut serta menghadiri acara wisuda kelulusannya."Itu nggak penting." Quinna berkomentar lirih. Terdengar ada nada sedih di suaranya.
"Hei, nggak papa, kalau jodoh, nggak ke mana, dan aku percaya kamulah orang yang tertulis di Lauhulmahfuz tercipta untukku ... semoga Alex juga cepat ketemu, aku pun mulai khawatir."
"Hmm ...."Sebetulnya Arkana pun sama sedihnya dengan Quinna, mengetahui dirinya harus pergi secepat ini. Tapi dia tak bisa menunjukkan karena itu pasti semakin berat untuk Quinna juga. Alex yang belum diketahui di mana rimbanya. Sekarang dia juga terpaksa memenuhi panggilan tugas. Jadi, dia harus pandai menutupi perasaannya sendiri.
"Pesawat jam berapa besok?" Pertanyaan Quinna yang tiba-tiba mengejutkan Arkana.
"Oh ... eh, jam ... satu siang. Transit dan malamnya baru berangkat lagi, kenapa? Mau ikut antar? Nanti malah semakin sedih." Tak disadari Quinna menggeleng menjawab Arkana.Tapi, kemudian dia terpikir sesuatu dan cepat-cepat menyudahi panggilan telepon dengan kekasih hatinya itu.
Banyak yang harus disiapkan dan banyak yang harus dihubungi.
Yang pertama Mamanya, menanyakan keberadaan Papa dan Adiknya, menceritakan singkat maksud dan tujuannya menelepon, sayangnya tak semua berjalan mulus. Papanya sedang di Shanghai untuk perjalanan bisnis. Dan adiknya yang pengurus mapala—mahasiswa pecinta alam—sedang ada pendakian.
Dia pun segera menelepon Papanya, yang sayangnya hanya tersambung ke pesan suara, maka tidak ada pilihan lain dia hanya bisa meninggalkan pesan untuk Aiden.
Lalu Tara, berkali coba dihubungi tapi tetap tak berhasil, akhirnya lagi-lagi dia hanya bisa meninggalkan pesan untuk temannya itu. Disusul dengan segera mengemas barang dan memesan penerbangan pagi ke Singapura. Dia ingin memberi kejutan pada Arkana dengan langsung menemuinya di Singapura, bukannya berangkat ke Jakarta dulu dan mengantar dari sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Quinna (Completed)✔
RomanceMenjadi seorang Pradipta merupakan satu beban tersendiri bagi seorang Quinna. Tak jarang, orang lain memanfaatkan apa yang Quinna miliki entah itu ketenaran, kepintaran, kecantikan fisik atau kekayaannya hanya demi kepentingan pribadi mereka sendir...