4. Singapore

1.6K 334 10
                                    

Entah bagaimana caranya, Alex sudah menunggu Quinna di Baggage Claim Area atau tempat pengambilan bagasi Changi Airport dengan cengiran khasnya.
"Kok lo bisa masuk sih?"
"No hug for me?" Alex malah bertanya balik sembari merentangkan kedua tangannya, bersiap menyambut Quinna, tapi yang dilakukan Quinna malah meraup muka Alex dengan telapak tangannya.
Alex pun membalas dengan memiting leher Quinna, "tap tap tap ...." Setelah Quinna berkata demikian barulah Alex melepasnya.
Ini hanya kebiasaan mereka sejak lama, menyakiti satu sama lain, bercanda tentunya.
"Nih tiket, cocokin ama baggage tag gue, urusin!"
"Emangnya gue porter?"
"Eh, Mas Bro, itu di dalam koper banyakan barang lo ya daripada punya gue sendiri!"
"Duh! Iya-iya." Akhirnya walau bersungut-sungut Alex bersiap dan menunggu koper Quinna keluar.

Sepintas Quinna melihat Arkana yang juga sedang berada di dekat baggage conveyor.
Tapi posisi dia di seberangnya dan tak sekalipun dia menoleh pada Quinna.
Seolah keakraban selama dua jam terakhir di udara menguap begitu saja begitu mereka mendarat.
"Lihatin siapa sih?" tanya Alex tiba-tiba.
Quinna mengedikkan dagunya ke arah Arkana, dan Alex pun mengikuti arah pandangnya, "Who? You know him?"
"Teman seperjalanan," jawab Quinna singkat, masih memandangi lelaki yang tadi banyak berbagi cerita dengannya melalui buku kecil miliknya.
"Quinna ... masih ya? Kalau lihat yang mukanya bening sedikit, langsung aja, naksir. Ingat, baru kelar sama Bimo, jangan mulai lagi─"
"Apaan sih, Lex!"
"Itu ...." jawab Alex ganti mengedikkan dagu ke arah Arkana.
"Dia difabel," bisik Quinna dan Alex mengernyitkan alisnya, "cannot hear," lanjutnya.
"Deaf?"
"Sstt!"
"Quin, kalau dia seperti yang lo bilang, dia kan nggak dengar kita mo ngomong apa juga?!"
"Iya sih, tapi kan dia bisa baca gerak bibir kita, Lex."
"Tapi dia sama sekali nggak lihat ke arah kita, Quin! Santailah!"

Arkana terlihat mengambil bagasinya, yang sepertinya berisi peralatan memotretnya juga sebuah tas lain, kemudian tanpa repot basa-basi atau sekedar isyarat dia pun meninggalkan area pengambilan bagasi menuju pintu keluar.
Alex masih memperhatikan Quinna yang masih memandang ke arah Arkana yang punggungnya semakin menjauh.
"Selera lo berubah nih jadinya?"
"Hah? Maksudnya?"
"Kayanya lo suka sama cowok tadi?!"
"Bukan sih, mungkin gue cuma penasaran sama keterbatasannya, tapi dia seperti orang normal lainnya."
"Ya of course, trus kalau nggak musti gimana?"
"Eh, menurut lo dia umur berapa?"
"Kenapa emangnya?"
"Ish ... jawab aja!"
"Kayanya seumuran kita, ya nggak sih?"
"Nah kan, aku nebaknya juga gitu, mungkin cuma baby face atau awet muda kali ya. In fact, dia udah kerja lho! Fotografer ... dan hasil fotonya bagus-bagus bang─"
"Wait, kalian di pesawat ngobrol banyak? Kok tadi dia kaya nggak kenal gitu?" Quinna pun mengedikkan bahunya.
"Itulah, makin penasaran kan gue, sombong banget!"
"Kenapa bukan lo yang nyapa dia duluan tadi?"
"Dia enggak denger, Alex!"
"Ya disamperin dong, Quinna! Atau, atau, jangan-jangan karena ada gue, disangka cowok lo, so ...."
"Au ah, tuh tas gue deh kayanya, cocokin labelnya!"
"Siap, Kanjeng Putri!"

Di stasiun MRT, sekilas Quinna melihat punggung Arkana memasuki MRT yang tak lama pintunya tertutup dan itu artinya Quinna pun harus menunggu MRT berikutnya.
Tiba-tiba kontak mata itu terjadi, dipisahkan kaca jendela kereta MRT, Arkana akhirnya memperhatikan Quinna yang juga sedang menatapnya.
Quinna tersenyum menyapa Arkana, tapi yang disenyumi tetap acuh tak acuh.
What? Ni orang kelewatan, bahkan aku udah senyum duluan pun dia tetap cuek, batin Quinna kesal sendiri bersamaan dengan MRT yang bergerak meninggalkan stasiun.
"Quin, kita langsung ke rumah atau─"
"Papa sudah hubungi yang jagain apart di Orchard, jadi kayanya kita musti nongol di sana dulu."
"Oh, okey."
Sudahlah, Quinna tak mau memikirkan soal lelaki sombong bernama Arkana tadi, mungkin dia cuma seseorang yang numpang lewat dalam hidupnya tanpa makna apapun.
Oh tapi aku tetap ingin mempelajari bahasa isyarat, pikir Quinna.

"Jadi, Bimo gimana?"
"Dah gue buang ke laut?"
Saat ini mereka sedang ngobrol di apartemen milik papa Quinna, yang sering digunakan ketika orang tuanya harus melakukan perjalanan bisnis ke negara ini.
"Kayanya ini bukan yang pertama kan, Quin?"
"Apa?"
"Ya itu, lo dimanfaatin orang!"
"Enak aja!"
"Nah yang dulu, waktu lo SMP jadi pengurus OSIS terus dijadiin budak sama ketua osis, suruh ketik ini ketik itu─"
"Eh enggak ya! Itu kan emang jobdes gue, Lex!"
"Akuin nggak!"
"Ck, au ah!"

Quinna (Completed)✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang