8. Pesantren atau Sukarelawan?

1.4K 278 16
                                    

"Hayoo ... ngomongin gue ya?"

Tara seketika salah tingkah karena kemunculan Alex yang selalu bak jelangkung itu. Tapi Quinna dengan santai menyelamatkan dari kegugupannya.
"Kalau iya kenapa?" Seperti biasa, Quinna malah sengaja memancing perdebatan.
"Oh, nggak pa pa, lanjutin aja. Udah biasalah makhluk ganteng diomongin dimana─"
Alex tak sempat menyelesaikan kalimatnya keburu pundaknya didorong oleh Quinna. "Narsis!"

Sesuai rencana awal, merekapun pergi nonton dan main biliar. Dalam beberapa kesempatan Quinna seperti sengaja mendekatkan kedua temannya. Tapi sepertinya masih kurang mempan, karena Alex masih saja acuh tak acuh pada Tara.

"Kamu ternyata jago nyodok, Quin," komentar Tara setelah beberapa saat memperhatikan Quinna dan stik biliarnya.
Quinna dan Alex seketika memusatkan pandangan pada Tara setelah dia menyelesaikan perkataannya, lalu saling berpandangan dan tertawa geli sendiri.
Tara yang tidak paham dengan hal apa yang membuat mereka tertawapun tampak kebingungan, tak tahu harus bereaksi seperti apa dia pun turut tertawa bersama mereka.
"Tara ... " Alex memanggilnya tapi masih belum bisa berhenti tertawa, "please, jangan pakai kata itu," lanjut Alex tapi masih saja tertawa.
"Hah? Maksudnya?" Tara memandang Quinna dan Alex bergantian yang masih saja sibuk menghentikan sisa tawa mereka.

"Jadi, waktu itu kami lagi ada di sebuah cafe, kayanya awal-awal masuk SMA, ya Lex, pas lo lagi liburan ke Jakarta?" Quinnapun memulai ceritanya, dan Alex hanya mengangguk menjawab pertanyaan Quinna, "Trus ... nggak jauh dari kami, duduklah sekumpulan kakak-kakak─"
"Oom-oom," potong Alex meralat penjelasan Quinna.
"Ya, oom-oom, whatever-lah. Nah, mereka kebetulan sedang membahas segala teknik menyodok ini ... " lagi-lagi Quinna dan Alex mengikik, "nah, karena kami berdua suka sama permainan ini, nggak sengaja kami nguping kan, siapa tahu aja bisa menambah pengetahuan kami soal biliar ini. Eh kok makin lama pembicaraan mereka makin aneh dengan istilah-istilah yang saat itu masih awam banget di telinga─"
"Dan ternyata, yang mereka omongin itu nyodok yang lain," sela Alex tak sabar menyelesaikan cerita Quinna.

"Hah?" Tara masih belum juga paham dengan penjelasan dua sahabat di depannya. Quinnapun langsung mendekat dan membisikkan sesuatu ke telinganya.
"Sejak itu kami nggak pernah menggunakan term nyodok ...." Yang langsung menghasilkan tawa keras dari Tara.
"Sssttt!" Quinna refleks menutup mulut Tara, sedangkan Alex menyuruh diam dengan isyaratkan jari telunjuk di depan bibirnya.
Tapi sekejap kemudian mereka kembali tertawa bersama.

"Jadi teknik apa saja yang berhasil kalian pelajari dari aktivitas nguping kalian?" tanya Tara akhirnya.
"Salah satunya, WOT─" jawab Alex yang membuahkan dorongan keras di pipinya dari Quinna.
"Nggak usah ngelantur, masih bocah aja, kalahin gue dulu nih!"
Dan Tara masih tak bisa berhenti tertawa.

"Tapi Quin, serius ya kamu jago nyo ... biliar, maksudku." Tara segera meralat, ketika hampir keceplosan menggunakan kata nyodok lagi.
"Kan nyokap-bokapnya─"
"Kami dulu sering latihan bareng," potong Quinna saat Alex berniat menjawab Tara, khawatir kalau-kalau Alex keceplosan kalau mereka sering main biliar bareng di rumahnya.
Kebetulan di rumahnya memang memiliki meja biliar, karena Pradipta sekeluarga memang menggandrungi jenis olahraga yang mengandalkan konsentrasi tinggi ini.
"Oh gitu, kalau bokap-nyokap tadi?" Lagi-lagi Quinna berkode mata dengan Alex, melotot singkat, menyalahkan kecerobohan Alex yang hampir membuka samarannya. Rupanya Tara lumayan jeli dan tak mudah dikelabui begitu saja.
"Oh itu ... mama papaku juga hobi, makanya mungkin nurun ke aku, adikku juga kok." Quinna membetulkan posisi kacamatanya lantas bersiap kembali memfokuskan diri untuk membidik bola di depannya.
"Wah seru ya, kalau sekeluarga bisa main bareng."

***Tika R Dewi***

"Kenapa sih, nggak mau gue anterin aja? Gue udah bawa mobil Om gue juga lho ini."
"Nggak ah, ngrepotin. Lo 'kan ke sini mau liburan," jawab Quinna pada Alex. Saat ini mereka berada di ruang tamu rumah kos Quinna menunggu jemputan armada travel yang akan membawa Quinna ke Pondok Pesantren di kota Malang, itu info yang Alex tahu. Kenyataannya, Quinna memutuskan memberi jawaban untuk menerima pelatihan bahasa isyarat yang kebetulan memang juga diselenggarakan di kota yang sama.
"Ngrepotin pa an sih? Telat banget deh lo, kalau lagi ke Singapore siapa yang nganterin dan bawain barang lo ke sana kemari?" Disindir seperti itu yang ada Quinna malah tertawa.
"Ya bukan gitu, travel juga udah dipesan dan on the way ke sini juga."
"Ya cancel aja─"
"Mana bisa! Di-cancel ya tetap bayarlah gue, orang udah hari H gini, ogah!"
"Lagian dari kemarin kenapa nggak mau, ish!" Alex pun masih memaksa berniat mengantar Quinna ke pesantren.
"Pesantrennya itu di pelosok banget, gue aja nggak apal jalannya, males ah kalau mesti nemenin lo melek sambil ngelihatin GPS, mendingan naik travel, gue tinggal naik, molor, t'rus sampai tujuan, ya kan?"
"Ck, terus berapa lama lo pesantren?"
"Ya seperti biasa, sebulanan, kenapa? Lo sendiri berapa lama di Surabaya?"
"Semingguan doang, tadinya mau langsung balik begitu lo berangkat ke pesantren, tapi sama Oma disuruh stay lamaan."
"Oh ... terus langsung balik SIN?"
"Iyalah, mau ngapain lagi?"
"Ya, siapa tahu mau mampir Jakarta dulu."
"Enggaklah, nggak seru nggak ada lo! Nggak ada yang bisa dipalakin."
"Sialan lo! Eh by the way kalau butuh teman di Surabaya, lo call Tara aja, kan kapan hari dia nawarin diri tuh."
"Hmm ... gampanglah entar."
"Tapi menurut lo dia gimana?"
"Maksudnya?"
"Ya, penilaian lo ke Tara, kan kemarin sama kemarin lusa kita seharian tuh barengan, lo udah bisa nilai dia dong?"
"Nggak ada yang aneh sih, kayanya dia cukup normal. Nggak kaya sobat-sobat lo di Jakarta."
"Sobat gue di Jakarta kan lo, Alex!"
"Hahaha, udah pindah, Buk!"

"Kalau sebagai cewek, Tara gimana?"
"Hah?"
"Dia cantik kan?"
"Lo ngapain sih? Mau nyomblangin gue ama dia?"
"Kok tau?" Alex pun tertawa mendengar jawaban blak-blakan dari sahabatnya.
"Urus hidup lo dulu yang bener, baru ngurusin orang lain!"
"Tapi 'kan lo bukan orang lain, Lex! Seriusan, kayanya Tara suka sama lo deh!"
"Males deh Quin kalau lo mulai kaya gini! Gue nggak pernah ngurusin lo sama mantan-mantan lo, so don't ruin anything by doing the same, okey!"
"Okey!" jawab Quinna singkat tak mau Alex malah mengamuk padanya gara-gara urusan perjodohan, jelas bukan itu yang mereka butuhkan saat ini.

"Tapi lo ada perubahan sih semenjak rajin pesantren, Quin."
"Jadi makin alim kan gue?" tanya Quinna sambil mengedipkan bulu matanya, sedangkan Alex hanya menggelengkan kepala sambil mengulum senyum.
"Jauh, Quin, lo mah nggak ada alim-alimnya. Ya, at least udah nggak pernah lepas jilbab kan lo?"
Quinna mengangguk, mengiyakan.
"Gue sebenarnya udah paham, Lex. Tapi masih banyak yang harus gue pelajari."
"Hmm ... semoga lo dapat apa yang lo cari, Quin. Eh itu bukan travelnya?"

***Tika R Dewi***

Harusnya memang Quinna ada di pesantren saat ini, tapi dia malah duduk di hadapan seseorang yang akan mewawancara dia lebih lanjut sebelum ikut pelatihan yang sesungguhnya.
"Quinna ya namanya?"
"Iya, Mas, betul."
"Tahu dari mana soal komunitas kami?"
"Umh ... nggak sengaja lihat di media sosial sih, Mas," jawab Quinna jujur.
"Oh ... terus kenapa tertarik untuk bergabung menjadi sukarelawan."
"Seperti yang saya jawab di kuisioner waktu saya mendaftar, alasannya karena saya ingin mendengar teman-teman yang difabel, saya ingin bisa berkomunikasi dua arah dengan mereka tanpa bantuan media atau sarana alat dan semacamnya."
"Tapi itu nggak mudah lho, karena di sini bukan hanya mengenai bahasa isyarat atau sign language. Tapi ada banyak hal, melibatkan emosi dan psikologi juga, kamu siap?"
"InshaAllah, Mas," jawab Quinna tegas dan yakin kalau dirinya pasti mampu.

"Well, kalau begitu selamat bergabung. Tapi by the way, Quin, eh boleh kan panggil Quin?"
"Boleh, Mas, emang biasa dipanggil begitu."
"Iya, by the way, kamu punya teman yang tuli atau tuna rungu? Biasanya orang-orang niat belajar karena ada kenalan atau kerabat yang difabel, kalau kamu?"
"Umh ... nggak ada sih, Mas. Eh tapi, pernah sih ngobrol sama seseorang yang difabel, cuman ngobrol singkat aja, ya mungkin itu juga kali ya, Mas, yang memotivasi saya pengin belajar bahasa isyarat."
"Oh gitu, yuk siap-siap, nanti kalau semua calon sukarelawan sudah datang dan selesai interview, kita langsung berangkat."
"Lho, pelatihannya bukan di sini, Mas?"
"Oh, nggak, kita ke daerah Batu, di sebuah villa gitu, jadi banyak pelatihan outdoor, ada outbond juga nanti."
"Oh gitu," gumam Quinna sambil manggut-manggut.

"Dan di sana nanti, di minggu kedua, kalian juga akan mencoba langsung berbicara dengan para penyandang difabel. Jadi semangat ya! Oh dan jangan khawatir, tempat tidur cowok cewek dipisah kok."
"Ya iyalah, Mas, bisa demo aku kalau sampai digabung." Quinna pun mulai nyaman dengan seniornya yang bernama Hendrik itu.

Mereka melanjutkan obrolan mengenai komunitas dan kegiatannya. Dari Hendrik, Quinna tahu kalau kegiatan menjaring sukarelawan ini ternyata merupakan kegiatan rutin tahunan.
Untuk dananya sendiri mereka banyak dukungan dari para sponsor dan ada pula donatur tetap demi kelancaran acara.
"Nanti biasanya juga ada session khusus sih buat para donatur tetap, itu kalau mereka ada waktu untuk datang. Tapi kita selalu mengundang mereka, tanpa dukungan mereka, komunitas ini nggak akan bertahan, Quin."
Lagi-lagi Quinna takjub dengan teman-teman barunya. Di kejauhan dia melihat beberapa sukarelawan senior yang saling bertegur sapa, bahkan bercanda tapi menggunakan bahasa isyarat. Dan hal itu membuatnya ingin cepat belajar dan menguasainya.

Dia ingat bagaimana cara mengisyaratkan namanya, dia pun iseng mencoba dan menanyakan pada Hendrik mengenai gerakan dan bentuk jari-jarinya.
Hendrik pun dengan senang hati membantu Quinna, "Wah ini kamu sudah bisa, diajarin siapa?"

"Arkana ...." Quinna bergumam pelan.

Author:
Ada yang kangen sama Arkana Abimana nggak sih?
Kalau ada jangan lupa tinggalkan vote dan komen kalian dong hahaha

Quinna (Completed)✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang