Kebiasaanku makin lama makin menjadi, entah aku harus mensyukuri atau merasa prihatin pada diri sendiri, dulu aku tidak pernah merasakan hal seperti ini, tidak bersyukur, kecewa, ataupun mencela diri sendiri, tetapi memang ada yang aneh dari diriku, aku berusaha mencari tahu. Memang, jiwa introvert-ku mengajak untuk mengenal diriku sendiri lebih dalam, aku tahu diriku, aku mengenalnya, dan aku bisa mengendalikan diriku sendiri.
Berhari hari aku selalu membatin jalan pikir dan hatiku, mencari tahu, apa yang diinginkan oleh diriku? Aku merasa mulai resah, namun tak ada jawaban. Aku mulai tak yakin dengan maksud semua ini.
"Ma!" ucapku mendekati mama yang mengupas sayuran.
"Hmm," jawabnya singkat.
"Mau bantuin mama? Tumben, biasanya aja asik dalam kamar sendiri!" lanjutnya.
Aku menghembuskan nafas kasar sambil menarik kursi dan lebih mengalah untuk membantu mama.
"Kenapa?" tanya mama.
"Ada yang aneh gitu, Ma! Feeling diana selalu resah! Gatau kenapa," ucapku.
Mama hanya tersenyum tipis.
"De, kamu udah gede! Kamu gak pengin keluar mencari hal hal yang baru?" tanya mama."Diana nyaman hidup seperti ini, Ma," ucapku.
"Manusia harus berani keluar dari zona nyaman!" tegas mama kemudian ia berlalu menuju wastafel mencuci sayuran.
Aku berpikir sejenak, terus saja mama mengucapkan kata kata itu, tetap saja aku tak melakukan apa yang dikatakan mama. Keluar dari zona nyaman? It's impossible.
Aku masuk ke kamar, bercermin diri.
"Diana bukanlah pemalu! Di dalam kelas saja suka angkat tangan, masa ngomong sama temen harus takut?" ucapku pada diri sendiri.Tersadar dari pantulan kaca, mama tersenyum manis di balik pintu kamar.
"Kok kamu seperti orang gila, De? Ngomong sendiri?" kekeh mama.
"Ahh! Mama!" ucapku sedikit kesal.
***
Di dalam kelas aku tak bisa fokus dengan guru yang ada di depan. Setiap kali mama mengucap hal yang sangat sakral bagiku, pikiranku melayang layang membayangkan bagaimana nanti berbicara dengan teman, jarang sekali aku bercakap secara langsung kepada seseorang, kecuali mama dan papa, juga dia. Aku lebih sering menggunakan alat media sosial untuk bercakap cakap ria, seperti tak ada beban. Namun, Setiap mama mengucap keluar dari zona nyaman, selalu membuat hatiku gaduh tidak jelas. Apakah diriku memang perlu itu? Perlukah?
"Haii, boleh ikut gabung?" tanyaku kepada teman sekelasku.
Aku merasa sangat grogi, detak jantungku tetap aku seimbangkan untuk berpacu dengan normal. Seburuk inikah diriku? Aneh, memang aku aneh. Adakah manusia seperti diriku? Sungguh miris.
Ini seperti bukan diriku, aku sangat mengenali kepribadianku sendiri, aku bukanlah tipe orang yang kurang bersyukur, apalagi minder dengan diri sendiri, ada apa ini? Aku tak paham, mencoba mengenali diri adalah hal yang paling sulit, apalagi menjinakkannya.
Aku masih melihat muka mereka yang aku sapa beberapa menit lalu, antara muka terkejut juga tak percaya, terlihat jelas dari muka mereka.
"Lo mau ngelawak apa gimana? Gila, sih, gak usah pakai izin segala," ucap Maika dengan kekehan, baiklah, gadis ini suka humor, dan selalu mencairkan suasana. Dan aku sedikit merasakan rasa iri, ingin bisa memiliki sifat sepertinya, aku hanya tersenyum.
"Isshh mulut lo kebiasaan langsung cap cus anjir!" Sahut Gebi, aku diam memahami gerak geriknya, mungkin dia gadis biasa biasa saja, tetapi ada kesan tersendiri di dalam dirinya, sepertinya dia gadis baik.
"Hmm, maaf, ya, aku kaku banget," ucapku, memang sangat kaku.
"Iya iya gue paham! Makannya lo sering sering ngumpul, dong," sahut yang lain. Sungguh, aku memang belum terlalu hafal dengan mereka, cuma bisa dihitung jari nama yang aku hafal, namanya juga teman baru, sebenarnya bukan baru lagi, aku saja yang kurang berkumpul dengan mereka.
Aku cuma mengangguk dengan senyuman.
"Ke kantin yuk! Ikut kita, lah!" sahut yang lain.Aku berpikir dua kali, mana mungkin aku meninggalkan kebiasaan sehari hariku.
"Baiklah," ucapku.
Kalian pernah merasakan risih karena menjadi pusat perhatian? Ya, sekarang aku mengalaminya. Sebagian sorot mata tertuju kepadaku, mungkin sebagian dari mereka merasa aneh karena aku pergi ke kantin bersama teman, tidak sendiri, entahlah, aku juga tidak tahu apa yang ada dipikiran mereka.
Rasanya untuk memakan pun sangat susah, tidak biasanya aku seperti ini. Menjadi pusat perhatian membuatku serba salah, grogi, mau ini mau itu selalu pikir dua kali, apa aku terlalu pemalu? Sungguh, aku menyesal mengikuti kemauan mereka, lebih baik aku gunakan waktuku di dalam perpustakaan yang sunyi, aku merasa bersalah telah membuang waktuku percuma hari ini. Bagaimanapun, jika itu sudah menjadi kebiasaanmu pasti kamu juga akan merasakan ada yang kurang jika belum kamu kerjakan!
"Boleh geser?" ucap seseorang, aku menoleh ke atas mendapati seorang cowok.
Sangat malas meladeni mereka, namun ini tempat umum, jadi tidak punya hak untuk melarangnya. Sering sekali aku merasa risih dengan gelagat mereka, namun aku hanya memberi senyum, tak pernah menggubris pertanyaan mereka. Sampai terbiasa rasanya.
"De, gimana, sih, caranya biar dideketin banyak cowok?" ucap Maika saat keluar dari kantin. Aku hanya senyum, tak berniat menjawab.
"Gue tanya! Bukan minta di senyumin! Lo kira gue bakal tertarik," ucap Maika sambil bercanda.
Aku merasa sedikit terkejut dengan pernyataan Maika, walaupun aku tahu dia hanya bercanda, tapi perasaanku membuat diriku sedikit tak suka dengan pernyataan Maika. Dasar diriku, sungguh lemah! Aku merasa terlalu bawa perasaan dengan kata kata Maika.
"Sok bangey lo mau seperti Diana! Bisa lo istirahat pertama di perpus, kedua baru ngantin, ketiga makan bekal! Bisa gak lo!" tantang Gebi, aku hanya menyimak sambil tersenyum, menyembunyikan sebentar kegundahan di dalam sana, apakah Gebi menyindirku? Atau aku yang terlalu bawa perasaan dengan ucapan mereka, tak mengerti mereka sedang bercanda? Atau terniat? Aku sungguh aneh.
"Bukan gitu juga, toge!...De, kasih tahu kali, ahh, biar muka gue ketularan muka muka sweetface gitu," ucap Maika sambil menyenggol lenganku.
"Buat hati kamu bahagia dulu, senengin dia, pasti raut wajah juga ikutan bahagia," ucapku sambil tersenyum.
Mereka hanya diam seperti tak mengerti maksud jalan pikirku. Melihat muka mereka seperti waktu pertama kali aku bertemu dengan dia, mukanya sama sama bingung saat bercakap denganku, dia yang telah lama pergi, namun tak pernah pergi dalam hati maupun pikiranku, namanya tetap menggebu disana. Devanne Marga, itu namanya. Sudah, tidak perlu diingat!
"Lupakanlah!" ucapku menyadarkan, kemudian berlalu meninggalkan mereka.
gue nulis cuma nuangin imajinasi gue. Terimakasih yg udh baca.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku Gadis Aneh [Completed]
Teen Fiction"Jangan suka judge orang kalo gak tau apa apa!" ~ Diana Jovalina. Cover by @Niakhayy. Start - finish. 22/3/20