Suasana perjalanan pulang kali ini berbeda dari keberangkatan tadi pagi. Kayak iklan Le Minerale, ada manis-manisnya gitu.
Andra sedari tadi tak kuasa menahan senyum di bibirnya. Sedangkan Reisa memilih untuk memejamkan mata dengan alasan pusing. Padahal malu sebenarnya. Kecupan sesaat tadi di tempat acara, membuatnya limbung. Entah harus merasa senang atau sedih. Atau apalah.
"Rei, mampir dulu bentar yak. Ada yang mau gue beli." Lelaki itu mengusap lengan istrinya. Reisa terkejut. Ekspresinya sangat kentara sekali, ketahuan kalau sebenarnya tadi sedang berpura-pura tidur.
"Mau beli apaan?" Dia bertanya saat mendapati mobil mereka sudah berhenti dan terparkir dengan cantik di salah satu mini market di pertengahan perjalanan pulang.
"Rokok." Sekilas lelaki itu menjawab, kemudian tangganya bergerak membuka pintu mobil.
"Rokok? Sejak kapan?" Rasanya dia tidak ingat jika lelaki itu pernah menggunakannya.
"Sebungkus aja. Asem mulut gue."
"Jangan, Ndra." Jemarinya dengan cepat menahan. Tidak boleh, Jangan sampai Andra menyentuh barang haram itu. Sentuhan tangannya membuat Andra terkesima. Dia balik menggenggam tangan Reisa. Tubuhnya condong ke depan. Matanya menatap wajah istrinya dalam. Andra ingin merengkuhnya dalam sebuah pelukan. Boleh ya? boleh dong!
Reisa menjadi salah tingkah dibuatnya. Berusaha menarik tangannya tapi tidak bisa.
"Kita udah halal kok. Masa' gue megang tangan lu aja ga boleh sih." Kali ini tubuhnya mulai merapat, tidak akan dibiarkannya istrinya menolaknya lagi.
"Ta-pi, i-tu ..." Reisa tidak sempat berucap apa pun, saat kemudian tubuhnya ditarik ke dalam sebuah pelukan.
Selanjutnya bagaimana? Terserah Andra. Bukan anda.
* * *
Dua orang itu saling bertatap malu-malu saat turun dari mobil, ketika mereka tiba di rumah. Kejadian tadi, sedikit membuka hubungan mereka menjadi lebih dekat. Tadinya Andra ingin menuntut lebih, tapi melihat ekspresi ketakutan di wajah istrinya, niatnya urung lagi. Reisa masih trauma.
Lelaki itu sempat berpikir, sepertinya istrinya memerlukan seseorang untuk membantu menyembuhkan luka batinnya. Andra tidak mau kehilangan dia lagi. Tidak akan dia biarkan Reisa dan anak mereka pergi. Tapi, melihat Reisa yang masih enggan di sentuh, membuatnya berpikir ulang untuk meminta bantuan pihak ketiga agar semua kembali normal. Mungkin, seorang psikiater/psikolog bisa membantunya.
Harusnya sejak awal ini dilakukan. Bukan dibiarkan begini. Mengapa dia tidak berpikir sejauh itu? Malah mencoba mendekati dengan caranya sendiri kemudian hasilnya nihil.
Eh, tapi tidak juga. Saat ini Reisa sudah mulai mau membuka diri kepadanya. Sekalipun belum sepenuhnya. Andra hanya perlu untuk bersabar.
"Pikirkan saja anak kalian untuk saat ini. Jangan merembet ke hal lain. Bukankah kamu sudah berjanji kepada Om Wisnu untuk membahagiakan mereka. Jangan sampai mereka direbut kembali." Suara hatinya berbisik.
"Masuk, yuk."Andra meraih tangan Reisa kemudian mereka masuk bersama-sama.
Inah terpana melihat mereka berdua yang tampak mesra. Senyum terukir di wajah tuanya. Non dan adennya ternyata sudah baikan sekarang. Sudah akur rupanya.
"Sini, bibik bawakan tasnya, Non." Dengan sigap tangan tua itu bergerak. Hendak mengambil tas yang dibawa non-nya. Kasihan, Reisa nampak kesusahan berjalan. Lelah sepertinya.
"Ga usah, Bik. Biar aja. Ga berat kok."
"Mau minum apa, biar bibik bikinkan. Teh atau kopi?"
"Teh hangat boleh, Bik. Antar ke ruang tengah aja. Rei pengen nonton di situ." Mereka berjalan masuk menuju ruang keluarga. Tempat yang seharusnya mereka gunakan untuk bercengkrama.

KAMU SEDANG MEMBACA
Sahabatku, Suamiku
RomanceReisa mengira, kisah cintanya akan berakhir indah dengan menikahi kekasihnya Dimas, cinta pertamanya sejak masih remaja. Segala macam persiapan pernikahan telah rampung, hanya tinggal menunggu harinya tiba. Namun, takdir berkata lain. Dia harus men...