Sedari tadi Andra merasa gelisah. Bolak balik. Di depan ruang tunggu. Entah apa yang terjadi di dalam sana, dia hanya berpasrah diri kepada Tuhan. Ingin mendampingi namun dilarang masuk. Berulang kali dia menggosokkan kedua tangannya, kemudian mengusap wajah. Sesekali meremas rambut. Mirip seperti seseorang yang sedang frustasi.
Sudah satu jam dia menunggu. Bersama Wisnu dan beberapa keluarga. Jika posisinya begini, serba tidak enak rasanya. Sesekali suara teriakan kesakitan terdengar dari dalam ruangan itu. Membuat jantung Andra berdetak kencang dan ingin melompat keluar.
"Duduk." Wisnu menegurnya karena melihat tingkah menantunya yang resah dan gelisah sedari tadi. "Andra, duduk!" Tegurnya sekali lagi.
Lelaki itu menoleh tanpa berucap. Kemudian mengambil tempat disebelah papa mertuanya. Hanya diam, tak bicara. Entah kenapa dia dilanda kepanikan luar biasa.
"Tenang." Wisnu menepuk bahunya. "Doakan, dia sedang berjuang."
"Tapi, Om. Kenapa Andra ga boleh masuk?"
"Reisa tidak mengijinkan."
"Andra pengen sama dia."
"Ada dokter dan tim medis lain. Kita bantu doa, ya."
Lelaki itu menarik napas panjang. Kemudian melirik jam di tangan. Kenapa tiba-tiba waktu terasa menjadi lambat. Tiap menitnya. Bahkan tiap detiknya. Geseran jarum jam itu malah membuatnya tersiksa.
Terdengar suara pintu terbuka. Andra dan Wisnu serentak berdiri. Tampaklah seorang wanita keluar dari ruangan itu.
"Suami Ibu Reisa." Dia berbicara setelah membuka maskernya.
"Gue." Kata Andra cepat.
"Silakan masuk, Pak." Andra mengangguk dan segera mengikuti wanita itu masuk ke dalam.
"Tunggu, Dokter. Saya juga boleh masuk?" Wisnu bertanya.
"Ya?" Dokter itu membalikkan badan dan menatap Wisnu.
"Saya papanya Reisa." Wisnu menjelaskan.
"Oh, ya boleh masuk sekalian. Mari." Mereka tergesa-gesa masuk ke dalam ruang bersalin itu. Wisnu dan Andra sudah tak sabar ingin melihat. Dimana Reisa berada?
Mereka terus berjalan sampai di ujung ruangan. Di sanalah, nampak seorang ibu sedang terbaring lemah. Didampingi beberapa perawat yang masih membantu membersihkan sisa-sisa peralatan bersalin tadi.
Reisa nampak pucat, namun rona bahagia terpancar di wajahnya, ketika melihat dua orang itu masuk.
"Laki-laki, Pak. Normal. Panjang 51 cm, berat 3.2 kg. Silakan."
Bergetar tangan Andra saat menyambut tubuh mungil itu. Agak ragu dia memandang.
Wisnu menepuk bahunya, lagi. "Bacakan Azan. Dia putramu, Nak."
Nak? Wisnu memanggilnya, Nak? Itu berarti ....
Andra mengangguk, kemudian lantunan suara Azan terdengar dari bibirnya. Lantang diucapkan dengan sepenuh hati, menggema di ruangan ini. Air matanya menetes. Tak dapat menahan rasa haru dan bahagia.
Dipeluknya lembut. Diciumnya pelan. Digendong dengan penuh kasih sayang.
"Sini, papa juga mau gendong." Wisnu mengambil bayi itu dari gendongan Andra. Papa, berarti dia telah diakuinya sebagai anak. Andra tersenyum lega.
"Alhamdulillah, gue udah dapet restu bapak mertua. Tinggal anaknya aja yang belum takluk." Andra tersenyum dalam hati saat melihat Wisnu menggendong bayi mungil itu dengan penuh rasa sayang.

KAMU SEDANG MEMBACA
Sahabatku, Suamiku
RomanceReisa mengira, kisah cintanya akan berakhir indah dengan menikahi kekasihnya Dimas, cinta pertamanya sejak masih remaja. Segala macam persiapan pernikahan telah rampung, hanya tinggal menunggu harinya tiba. Namun, takdir berkata lain. Dia harus men...