Mengenang Hari Itu

3.5K 157 36
                                    

Dua pasang mata itu saling bertatapan. Sejenak ada rasa ragu dalam hati mereka. Tapi inilah kesepakatan yang sudah dibuat dan dibicarakan dengan matang. Berdua saja, tanpa melibatkan siapa pun. Karena yang lain tidak akan pernah mengerti dan menyetujui. Keputusan ini mutlak dan tidak dapat diganggu gugat.

"Saya terima nikahnya Reisa bla bla bla ..." Dalam satu tarikan napas, susunan kalimat itu lancar Andra ucapkan, saat menggenggam erat tangan Wisnu.

Sah. Begitulah para saksi berkata. Hanya ada keluarga dekat. Reisa si pengantin wanita sama sekali tidak menghadiri acaranya. Dia berada di tempat lain, -dirumah tempat tinggal mereka sekarang- dalam kondisi fisik dan mental yang masih memprihatinkan sebenarnya. Hanya saja, mereka tidak ada yang tahu.

Sakit. Mungin itulah kata yang layak disematkan kepadanya saat itu.  Ditambah dengan keputusan sepihak dari keluarga Dimas yang membatalkan rencana pernikahan mereka, maka bertambah pula sakitnya dia. Kata pepatah, ibarat sudah jatuh tertimpa tangga pula.

Reisa sempat mengalami depresi, hingga hampir melenyapkan janin yang ada di perutnya. Hanya saja dia cepat ditangani. Lukanya sembuh, dia menerima. Sayangnya, setelah itu tidak ada kelanjutan terapi sehingga bekas trauma akibat perbuatan Andra masih melekat di dirinya.

Tidak ada yang tahu. Hanya Andra sendiri yang merasakan. Berbulan-bulan menghabiskan banyak waktu, tenaga dan pikiran hanya untuk membuat Reisa kembali seperti dulu lagi. Perlahan, tapi belum sembuh seluruhnya. Entahlah, nanti bisa atau tidak yang penting dia sudah berusaha semampunya.

Begitulah kesepakatannya. Waktunya tinggal sedikit lagi. Dua bulan ke depan. Berhasil atau tidaknya, Andra akan menyerahkan semua keputusan di tangan Reisa. Apa mereka akan bertahan atau menyerah. Setidaknya, ada bayi itu sebagai tanda bahwa mereka pernah bersama walaupun keadaannya terpaksa.

"Lu yakin mau lahiran di sini?" Andra bertanya saat mereka sedang makan di kantin rumah sakit. Reisa sudah kelaparan jika harus menunggu pulang atau makan di luar. Jadilah, saat ini berdua asyik duduk dan menikmati semangkok soto.

Kemudian ada bakso, sosis bakar, kentang goreng, dan segelas besar es jeruk. Andra sampai melongo dibuatnya.

"Iya. Aku udah cocok sama dokter Andini."

"Rei, ntar kalau adek lahir, lu mau gimana." Andra memberanikan diri bertanya. Berbulan-bulan dia memendam rasa ingin tahu mengenai hal ini. Mungkin inilah saatnya dia menanyakannya.

"Aku ... Belum tau." Reisa memandangnya lekat. Sejujurnya dalam hati, ada sedikit rasa yang mulai tumbuh untuk suaminya ini. Namun, pertemuan dengan Dimas tadi membuatnya meragu.

Adakah pertemuan yang tadi, merupakan takdir Tuhan juga? Tapi, sebagai apa? Pilihan hidup, atau cobaan dalam rumah tangganya? Hati Reisa bimbang. Mengapa disaat dirinya sudah mulai bisa menerima Andra sedikit demi sedikit, tiba-tiba Dimas datang kembali. 

Bolehkah dia berharap bisa bersama lelaki itu lagi? Kekasih hatinya yang dulu. Rasa itu tak pernah hilang. Tersimpan dalam ruang tersendiri, dan meronta ingin keluar saat pertemuan tadi.

"Rei ..." Andra meletakkan sendok. Meraih tangan wanita itu untuk digenggamnya. "Gue ga mau kita pisah. Sekalipun lu ga cinta sama gue, bertahanlah demi anak kita." Kali ini ada tangis yang berusaha dia tahan, agar tidak jatuh. Dia tidak mau terlihat lemah di mata wanitanya. Tidak boleh. Kuat ya Andra.

"Aku engga tau perasaanku sendiri, Ndra." Dia tertunduk. "Aku takut."

"Gue ga akan nyakitin lu lagi. Gue janji. Sejak dulu, saat kita masih sekolah pun, gue selalu ada buat ngejagain lu."

"Aku tau. Tapi ..."

"Kita ke konsul ke psikiater lagi ya. Lu mau kan?"

"Maksud kamu apa?"

Sahabatku, SuamikuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang