Andra tampak ragu-ragu saat hendak membuka pintu. Reisa sedang melihat Tarno mengurus bunga di taman. Dia duduk di kursi panjang dekat tempat Tarno menanam bunga. Sejak kejadian di dapur waktu itu, entah kenapa malah Andra yang malu jika bertemu istrinya.
Dia bahkan tak berani lagi menyebut Reisa dengan sapaan "mama". Canggung, dan kembali saling memanggil "lu" dan "gue". Untung tidak ada "end" nya. Janganlah, jangan berakhir sampai di sini kisah cintanya. Masih mau panjang, ya ga?
Jadi, Saat ini, dia hanya khusyuk mendengarkan suara khas tawa Reisa yang bergema hingga ke kamarnya. Kali ini benar hanya mendengarkan, bukan mengintip seperti waktu itu. Pembaca percaya ga? Author sih engga.
Lama-lama dia tak tahan juga. Godaan untuk berdekatan dengan istrinya semakin kuat. Kita memang begitu kan? Jika jatuh hati pada seseorang, selalu merasa rindu dan ingin berdekatan terus setiap saat. Uhuk ....
Akhirnya dengan mengumpulkan sedikit keberanian, dia membuka pintu penghubung antara kamarnya dan taman belakang. Berjalan mendekati mereka.
"Hai..." Wajahnya memerah saat menyapa. Reisa terkejut dan tersenyum malu. Membuang muka, pura-pura tidak melihat.
"Den." Parno menyapa tuannya. Sesekali melihat nona-nya yang tiba-tiba saja menjadi salah tingkah. Padahal tadi baik-baik saja.
"Nanam apa, Pak Nok?" Andra bertanaya. berbasa-basi, tepatnya. Tapi, yang disebut nama Tarno, wajahnya sendiri menatap Reisa. Bisa gitu ya, mulut sama mata tidak se-irama.
"Bunga matahari." Jawab Parno. Sesekali wajahnya melirik Reisa yang nampak salah tingkah. Tarno tersenyum geli. Tuan dan nona-nya ini seperti remaja yang sedang jatuh cinta. Malu-malu.
"Oh, berapa pot?" Mata Andra melirik-lirik ke arah Reisa. Istrinya itu malah menghindar dengan berpura-pura menunduk mengambil bibit bunga. Padahal yang sedari yang nanam juga Tarno, dia hanya melihat saja.
"Sepuluh, Den." Lelaki paruh baya itu menjawab sambil memperhatikan dua orang ini. Bergantian. Sebentar melirik ke arah Reisa, kemudian melirik Andra.
"Banyak amat, Pak?"
"Non Rei yang minta. Katanya suka, den. Iya kan, Non?" Tarno sengaja memancing. Agar terjadi percakapan diantara mereka berdua. Reisa yang sedari tadi pura-pura mengambil bibit, kali ini melanjutkan dengan memotong beberapa tangkai bunga.
"Masa sih? Beneran Rei?" Andra berbalik tanya kepada istrinya.
"Eh, iya. Aku yang minta Pak Nok nanam yang banyak. Biar nanti kalau bunganya mekar, cantik," jawabnya tersipu sambil memandang Andra. Kemudian, tertunduk malu. Lagi.
"Kayak lu ya cantiknya?" Uhuy!
Reisa tersipu-sipu malu. Malu aku malu, pada semut merah yang berbaris di dinding menatap ku curiga ... Hayo, kenapa pada nyanyi?
Andra memberi kode, supaya Tarno meninggalkan mereka berdua. Dia ingin bicara dengan istrinya.
"Anu, Non. Saya nganu." Kenapa pula si Tarno yang jadi salah tingkah.
"Kenapa, Pak?" Tanya Reisa.
"Saya ke dalam dulu ya. Ada yang kelupaan di ambil." Tarno berpamitan sambil meletakkan polybag dan bibit bunga. Tinggal dua lagi yang belum di tanam. Biasanya, sebelum di pindah ke pot, bibit bunga disemai dulu di situ. Setelah tumbuh, baru dipindahkan. Tapi tuannya sudah menyuruhnya pergi, jadi dia manut saja.
Reisa hendak menahan. Tapi Tarno sudah menghilang dalam sekejap. Sepertinya, dia ber-teleportasi. Bisa berpindah tempat dalam waktu sekejap.
Sepeninggalan Tarno, mereka berdua menjadi semakin salah tingkah. Andra mengambil posisi duduk di sebelah Reisa. Posisinya pas sekali menghadap ke arah serumpun bunga-bunga.
![](https://img.wattpad.com/cover/199889667-288-k764851.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Sahabatku, Suamiku
RomanceReisa mengira, kisah cintanya akan berakhir indah dengan menikahi kekasihnya Dimas, cinta pertamanya sejak masih remaja. Segala macam persiapan pernikahan telah rampung, hanya tinggal menunggu harinya tiba. Namun, takdir berkata lain. Dia harus men...