Tak Disangka

3.5K 154 11
                                        

Aku tak mengerti mengapa mereka menyebutnya patah hati. Rasanya seperti setiap bagian dari ragaku patah semua.

***

Setengah berlari lelaki itu memasuki rumah sakit. Satu jam yang lalu, penerbangannya mendarat mulus di tanah air. Negara tercinta yang beberapa bulan ini di tinggalkannya. Tidak ada bagasi, hanya sebuah tracker yang diletakkan di kabin yang dia bawa, itu juga berisikan pakaian seadanya.

Telepon dari mamanya yang mengabarkan bahwa papanya tiba-tiba mendadak masuk rumah sakit karena serangan, membuatnya segera pulang tanpa pikir panjang. Meninggalkan semua pekerjaannya di sana.

Lelaki memang gagah sekali, walau hanya memakai kaos dan celana jenas. Di tambah kacamata yang membingkai wajahnya, nampak sempurna lah dia.

Beberapa wanita menoleh saat melihatnya, dan bertanya-tanya "Mengapa si ganteng ini berlari-lari di lorong rumah sakit? Apa dia tidak bisa berjalan pelan-pelan saja sehingga kami masih bisa menatapnya lebih lama."

Beberapa juga berpikir "Ini artis ya? Kok macho banget sih."

Ada juga yang diam-diam berkata, "Apakah Oppa Min Hoo lagi nyasar? Siapa pula yang dibesuknya di rumah sakit ini."

Lelaki itu tak melihat ke kanan dan kiri, sampai tak menyadari bahunya bersenggolan dengan seorang ibu hamil, yang sedang berjalan menuju ke toilet.

"Maaf, saya tidak sengaja," ucapnya sopan. Tak melihat lagi siapa yang di senggolnya tadi.

"Iya, ga apa-apa, Mas." Wanita itu berkata dan ketika dia menoleh, nampaklah seraut wajah seseorang yang pernah ....

Dia menghetikan langkah. Menoleh ke belakang untuk memastikan sekali lagi. Benar, itu ....

"Reisa?" Lelaki itu menyapanya. Agak ragu karena ada banyak perubahan bentuk fisik dari wanita yang pernah dikenalnya dulu. Tapi dia yakin itu dia.

"Dimas?" Wanita itu nampak terkejut saat dia memandang wajah lelaki yang menyapanya. Apa dia sedang bermimpi? Benarkah itu ....

Ya, benar itu Dimas. Hanya nampak berbeda dari dulu, terlihat sangat matang dan dewasa. Tapi Reisa tau dia tidak salah mengira orang.

Tiba-tiba Reisa menjadi gugup, dia hendak berbalik menghindar saat ada sebuah lengan kokoh yang menarik lengannya. Lepas. Aku tak sanggup bertemu denganmu lagi.

"Hei," sapanya. "Apa kabar?" Matanya melirik ke arah perut buncit wanita itu. Sementara cekalan tangannya sudah terlepas.

Reisa tertunduk malu. Senyumnya kecut, tubuhnya sedikit gemetaran. Rasa malu menjalari seluruh wajahnya, bahkan mulai menyelimuti hampir seluruh tubuhnya.

"Ba-ik."

"Kamu sedang apa di sini?" bertanya Dimas karena rasa penasaran, bukan hanya sekedar basa basi, kayak iklan rokok.

"Periksa." Singkat jawabannya, tapi di dalamnya penuh sarat makna. Reisa tidak perlu menjelaskan apa pun. Lelaki itu sudah pasti paham apa yang telah terjadi kepadanya.

Mata mereka bertautan. Ada yang berdebar dalam hati ini. Ada sakit yang pelan-pelan menyusup. Ada luka yang kembali tertoreh. Ada rindu yang masih tersimpan, belum hilang dan belum tergantikan.

"Rei, gue ...." Kata-kata Dimas terhenti saat sebuah panggilan telepon masuk. "Iya, Mah. Iya, sebentar jalan ke sana. Udah deket." Lelaki itu menjelaskan. "Ini ketemu temen sebentar."

Klik. Dimas memutusakan panggilan itu. Kembali menatap Reisa.

"Sorry, Rei. Gue ke dalam dulu. Papa dirawat," ucapnya. Reisa mengangguk. Tak ada niat sedikitpun dia untuk ikut menjenguk. Keluarga Dimas menolaknya setelah kejadian itu. Bahkan memutuskan silaturahmi.

Sahabatku, SuamikuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang