"Tak perlu menasehati orang yang sedang jatuh cinta karena mereka tak akan pernah mendengar. Mata mereka buta, telinga mereka tuli dan langkah mereka terhenti pada sosok yang dipuja. Biarkan saja sampai mereka merasakan sendiri sakitnya jatuh cinta yang terlalu dalam"
***
Paviliun Gemma, lantai tiga kamar nomor tiga nol lima, dua hari pasca persalinan.
Pintu kamar tempat Reisa dan bayinya dirawat terbuka. Mereka keluar ruangan dan bersiap-siap untuk pulang. Selama persalinan di rumah sakit, dia ditemani oleh keluarganya. Dalam kondisi seperti ini, keluarga memang tempat kita pulang. Selama ini mungkin sibuk dengan aktivitas masing-masing, atau kita yang jarang berkirim kabar, sehingga mungkin silaturahmi menjadi sedikit renggang.
"Mau pulang ke mana ini? Ke rumah papa atau ke rumah Andra?" Wisnu bertanya saat melihat anak menantunya ini kebingungan menentukan pilihan.
"Ke rumah papa ... nya adek," jawab Reisa malu-malu. Suaranya lirih bahkan hampir tak terdengar.
Andra tertawa kecil. Dia tau, dialah pemenangnya saat ini. Wisnu dan Andra saling berpandangan kemudian tersenyum. Wisnu mengangguk dan menepuk bahu anak lelakinya ini.
"Jaga Reisa baik-baik ya, Ndra. Papa percaya padamu." Pesannya. Andra mengangguk, mengiyakan. Menyanggupi apa yang telah diserahkan kepadanya.
"Papa ga ikut nganter?" tanya Reisa saat dia melihat papanya tidak akan ikut pulang ke rumah mereka.
Wisnu menggeleng. Kali ini dia hanya akan mendampingi sampai di sini. Setelahnya, biarlah Andra yang akan melanjutkan.
"Kok gitu sih, Pa?" Ada sedikit guratan kecewa di wajahnya. Papanya terlihat tidak terlalu senang, bahkan setelah adek lahir. Entah kenapa. Biasanya orang tua sangat antusias kalau punya cucu, apalagi yang pertama. Sikap papa kali ini dingin, padahal sebelumnya berbeda.
"Nak. Nanti papa ke sana, ya. Nyusul. Sekarang masih ada keperluan lain. Pastilah papa akan sering main kok." Wisnu memeluk putrinya.
"Hati-hati, Andra." Pesannya sebelum mereka berpisah.
"Iya, Pa." Mereka berpelukan lama.
Dari kejauhan Wisnu memandang mereka dengan penuh haru. Sebuah senyuman terukir di bibirnya. Dia tahu, dia tak pernah salah mengambil keputusan dengan menikahkan mereka. Dia telah menyerahkan putrinya kepada orang yang tepat. Sekalipun semua bermulai dengan cara yang tidak baik.
Hidup ini, memang hanyalah rahasia Tuhan. Kita hanya menjalani apa saja yang telah menjadi ketetapan-Nya dengan hati ikhlas, hingga tiba waktu kita untuk berpulang.
* * *
Mereka memasuki rumah dengan tenang. Inah menyambut seperti biasanya. Tampak heboh melihat si kecil. Reisa tertawa senang. Membiarkan tangan tua itu menggendongnya.
"Bawa sini, Non Rei. Inah pengen gendong cucu." Dia langsung mengambil bayi itu dari gendongan Reisa. Membawanya masuk ke dalam. Sementara Tarno membantu Andra mengangkat barang-barang.
"Yang ini simpan di belakang aja, Pak Nok. Biar barang-barang yang lain, aku yang bawa." Andra mengangkat beberapa tas dan membawanya masuk ke dalam.
Tarno segera melakukan tugasnya. Memindahkan semua barang-barang ke belakang, kemudian memberi kode kepada Inah agar segera menyingkir. Wanita itu tersenyum, kemudian ikut ke dalam membawa si bayi menuju kamar.
"Ke sini." Andra membukakan pintu kamar. Mata Reisa terbelalak. Sebagian kamarnya sekarang sudah berubah menjadi kamar bayi. Bernuansa warna biru dan putih. Andra menempelkan wallpaper lucu sebagai pemanis ruangan. Dua hari ini, dia meminta tukang merenovasi sedikit, tidak mengubah semuanya. Hanya menambahkan seperlunya. Tidak keburu waktu juga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sahabatku, Suamiku
RomanceReisa mengira, kisah cintanya akan berakhir indah dengan menikahi kekasihnya Dimas, cinta pertamanya sejak masih remaja. Segala macam persiapan pernikahan telah rampung, hanya tinggal menunggu harinya tiba. Namun, takdir berkata lain. Dia harus men...