Rin-rin merupakan santriwati terbaik di pesantren, selain cantik dan cerdas dia pun terkenal religius. Beberapa ikhwan bahkan Ustadz pernah mengajukan proposal ta'aruf untuk gadis itu, melalui pimpinan pondok. Namun Rin-rin menolak, ada seorang pria yang telah mengunci hatinya.
Bel akhir pelajaran berbunyi, para siswi berbondong-bondong keluar kelas. Namun, Rin-rin sengaja keluar belakangan, ia membantu Ummu Hanif membereskan buku-buku di meja guru.
"Umi ... kalau ada pekerjaan rumah, panggil saya saja," ujar Rin lembut seraya menundukkan pandangan tak berani menatap langsung sang guru.
Ummu Hanif tersenyum lantas mengusap kepalanya, mengiyakan keinginannya.
*
Rin mencuci piring dengan sigap kemudian membikin teh terburu. Ia membawa nampan ke ruang tamu, di mana seorang ayah dan putra pertamanya sedang berbincang. Pria muda berjanggut tipis itu tersenyum menatap wajah Rin sekilas.
Di balik tirai, Rin tersenyum tipis seraya mendekap nampan, telah lama ia menantikan Hamka pulang dari Qatar. Dulu pemuda itu merupakan kakak kelasnya, kala ia masih duduk di kelas bahasa selama satu tahun.
Ummu Hanif yang melihat tingkah laku gadis itu pun menahan senyum.
"Kamu masih suka sama, Aka, ya?" Pertanyaan Ummu Hanif membuat Rin terperanjat kaget sekaligus malu.
"Eh?" Buru-buru Rin pergi ke dapur.
Sementara Ummu Hanif meneruskan langkah ke ruang tamu lalu bergabung mengobrol dengan putranya yang baru tiba.
*
Malam harinya, melalui seorang santriwati, Ummu Hanif memanggil Rin ke rumah. Di ruang keluarga itu telah ada beberapa orang termasuk Hamka.
"Jika kamu mencintai putraku, putraku telah cukup umur untuk mendampingimu. Apakah kamu mau menikah dengan putraku?" Ustadz Mu'adz ayah Hamka bertanya sembari tersenyum lembut pada Rin.
Mencintai Hamka adalah perasaan yang tak terganti, tetapi menikah selama masih duduk di bangku SMA apa bisa? Batin Rin bergumam.
"Setelah lulus, Hamka akan mengajakmu ke Afrika." Ustadz Mu'adz melanjutkan ucapannya.
Khawatir pemuda itu berpaling ke lain hati, bibir Rin spontan mengiyakan.
Mereka mengucapkan hamdalah sambil tersenyum. Padahal menikah dengan dirinya pun tidak menjamin Hamka setia.
*
Sebagai anak pertama, pernikahan Hamka cukup megah, dilaksanakan di gedung asrama putri. Malu-malu Rin melirik ke arah pemuda tampan yang telah sah jadi suaminya itu, sedang mengobrol dengan beberapa kawannya dari luar negri.
Penyanyi terkenal Maidany group naik ke atas panggung, menyanyikan nasyid dengan judul 'Mengukir cinta di belahan jiwa'
Beberapa teman santriwati terus saja merayu Rin, membuat gadis itu terus menundukkan kepala dengan pipi merona dan sesekali tersenyum tipis.
Kini, santri ikhwan membawakan Hadroh shalawat di tengah-tengah lapangan. Untuk menghilangkan kegugupan, Rin turun dari kursi pelaminan, toh Hamka juga tak kunjung menemani di kursi pengantin itu.
Rin memasuki kamar, melepaskan make up yang menyiksa kulit wajahnya, juga gaun pengantin yang begitu sesak di dada.
Malam kian larut, di luar pun terdengar sepi, kenop pintu diputar dari luar, itu Hamka, Rin langsung bangkit dari kasur meraih Jilbab.
Hamka telah berdiri di hadapannya, tersenyum tipis. Keringat dingin keluar di pelipis Rin, ia gemetaran, rasa kagum dan sejuta pesona untuk lelaki itu entah menguap ke mana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tak Semanis Madu (Tamat)
Romance"Istri ke-dua suamimu sedang hamil dan mabuk, Nak Rin. Tak apa, ya, rumahmu ini untuk adik madumu, karena kamu pun belum punya anak." "Ya, Umi." Rin terpaksa mengangguk meskipun jiwanya gemuruh. "Nanti kalau adik madumu lahiran, sekalian bantu-bantu...