Rin kembali ke Indonesia dan meminta maaf kepada Ummu Hanif. Sang ibu mertua sama sekali tidak memarahinya, justru malah menenangkan keresahan hatinya dengan nasihat-nasihat bijaksana.
"Jika Nak Rinad sampai mengalami rumah tangga poligami itu artinya dalam diri Nak Rinad ada penawarnya. Bisa jadi Nak Rinad ini tahan bantingnya juara." Ummu Hanif menahan senyum. "Begitulah Allah mendesain makhluk-nya begitu sempurna, tidaklah seorang hamba mengalami sebuah peristiwa kecuali ada kemampuan dalam dirinya untuk mengatasi peristiwa tersebut."
Rin pun fokus belajar untuk kelulusan pondok, memahami dan menghafalkan mata pelajaran yang menggunakan bilingual, Arab dan Inggris.
Jika dalam pelajaran umum posisi rankingnya bergeser pada peringkat ke dua, maka di pelajaran pondok gadis itu bertekad untuk mengambil posisi pertama. Selama masa ujian berlangsung, Rin giat sekali belajar sampai terkadang bergadang.
Hasil tak mengkhianati proses. Ia mendapatkan penghargaan sebagai pelajar favorit dengan nilai tertinggi di kedua bahasa.
Tak lupa gadis itu mengirim gambar raport pondok dengan nilai Mumtaz kepada Hamka, biasanya Hamka akan fast respon, tetapi kini, pesan yang dikirimnya hanya centang biru saja.
Penasaran apa yang suaminya lakukan, Rin pun menekan tombol panggil.
"Iya ... siapa?"
Jantung Rin berdetak kencang, malah suara perempuan yang menyahut di seberang. Belum sempat bibirnya menjawab, suara parau Hamka terdengar, membuat hatinya sontak terluka.
"Siapa, Sayang?" terdengar Hamka bertanya di seberang telepon.
"Tau nih, gak jawab." Suara perempuan itu begitu manja. "Ih geli, Sayang ...." Bahkan ada yang menelpon pun mereka bermesraan.
Apakah lelaki itu lupa telah memiliki istri? Air mata Rin bergulir, ponsel di tangannya jatuh sendiri.
*
Di sudut ruangan kelas, Rin menangis tersedu, beberapa pelajar melihatnya tetapi tak berani mendekat.
Meskipun sudah tak memegang amanah sebagai ketua organisasi, sebab pendiam dan jarang bercanda. Para pelajar masih segan mendekatinya.
"Ada apa, Rin?" itu suara Sofia, gadis itu berjalan menghampiri kemudian merangkul, bahu Rin.
"Aku ... sakit, Fi." Rin menjawab lirih.
Sofia pun membawa Rin ke asrama putri, mencoba menenangkan gadis itu. Di depan Sofia, Rin meluapkan rasa sakit hatinya.
"Inikah yang dinamakan patah hati? Ya Allah, sakit sekali." Rin berkata lirih sembari mengurut-urut dadanya sendiri. "Dulu aku jahat, ngatain teman satu angkatan lebay gara-gara patah hati sama Ustadz taksiran yang menikah. Beginikah rasanya? Teramat menyiksa."
Tak bisa memberikan solusi apa pun, Sofia hanya mengusap-usap punggung temannya itu.
"Aku tidak mau lagi berhubungan dengan Hamka. Aku akan hapus nomor kontaknya. Aku tidak peduli lagi sama dia, dia udah bahagia sama istri barunya, mana dia ingat aku." Di sela tangisnya, bersusah payah gadis itu berkata.
"Tapi dia suamimu. Kamu istri sahnya, istri ke duanya itu hanya selir, kamu yang lebih berhak." Sofia menyahut untuk menenangkan hati Rin, meskipun dalam hati, ia teramat tahu istri kedua bukanlah selir dalam Islam, sama-sama berstatus istri sah, tetapi beda kedudukan.
"Aku tidak mengerti yang seperti itu, aku bahkan tidak mengerti apa itu poligami, lihatin saja, suatu saat aku akan membalas Hamka, kupikir dia bakal setia hanya menikahi aku saja."
Sofia menghela napas. "Makanya ... jangan tertipu oleh rupa, kamu terlalu buta oleh anak pimpinan itu. Lelaki ganteng itu biasanya fuck boy, you know?"
Dikatain seperti itu, tangis Rin semakin menjadi, dia melabuhkan tubuhnya ke pelukan Sofia dengan tiba-tiba.
"Sabar, Rin ... Allah tidak membebani seorang hamba di luar kapasitas kemampuan hambanya." Sofia mengusap-usap punggung Rin.
***
Sebuah mobil mewah terparkir di halaman rumah Ummu Hanif, keluar dari dalamnya, Hamka dan beberapa orang pria. Terakhir, Perempuan bercadar ke luar dari mobil itu dibimbing Hamka.
Jika dulu Rin akan bahagia melihat kepulangan Hamka, sekarang wajah gadis itu begitu dingin, ia tak bereaksi sama sekali melihat kepulangan suaminya itu.
Perempuan bercadar itu menggandeng tangan Hamka posesif, bahkan saat melewati Rin, Hamka sama sekali tidak menoleh.
Bersama santriwati lainnya, Rin mempersiapkan jamuan untuk rombongan tamu dari Qatar itu.
Para tamu asing itu, bercakap-cakap menggunakan bahasa Arab formal di ruang tengah.
Hamka duduk di samping Isfia, sesekali pria berwajah aristokrat itu tampak saling tersenyum dengan istri keduanya tersebut.
Bersama beberapa orang santriwati, Rin membawa jamuan di atas nampan, berjalan lutut menghampiri mereka, lalu menghidangkan jamuan yang dibawanya dengan hati-hati ke tengah-tengah karpet.
"Syiren?" Salah satu dari lelaki itu terdengar memanggil. Sontak saja Rin menoleh, benar saja itu Asgar, hanya Asgar yang memanggilnya begitu, aksen ,Rin, terasa sulit di lidah, kata pria itu.
"Asgar?" Rin menyahut spontan. Ia bersegera undur diri kala menyadari jadi pusat perhatian mereka, termasuk Hamka yang menatap dingin ke arahnya dan Asgar bergantian.
Tibalah saat Rin menyiapkan kamar untuk suaminya dan Isfia, kembali air mata itu menitik di pipi, tatkala terbayang, mereka berdua akan tidur bersama. Derap langkah kaki yang terdengar dari luar kamar, membuat Rin buru-buru turun dari kasur.
"Kamu adiknya Hamka, ya?" Isfia bertanya sembari tersenyum membuat wajahnya semakin manis sekali, pantesan Hamka tak berpikir lama untuk menyuntingnya.
Hamka muncul di belakang Isfia. Melihat kehadiran lelaki itu, hati Rin tersayat, ia keluar kamar terburu sampai menubruk bahu Hamka.
*
Malam kian meninggi, Rin teramat gelisah, tak bisa terlelap sama sekali, kamar sebelahnya adalah kamar Hamka dan istri barunya dibatasi oleh satu dinding, canda tawa mereka terdengar samar-samar.
"Kamu harus tawakal sama Allah, ya, Nak. Kunci surga untukmu kalau ikhlas dimadu."
"Benarkah? Setahu saya, jaminan surga hanya untuk orang bertakwa, kalau orang dimadu namun bermaksiat apakah terjamin juga masuk surga? Selama Rin belajar hadis di kelas tidak ada hadis yang seperti itu. Apa statusnya hadis tersebut?" Rin menimpali dengan hati yang luka ucapan Ummu Hanif saat itu.
Ummu Hanif tak berkata lagi malah membawa tubuhnya ke dalam pelukan.
"Sabar, Nak, Isfia masih masanya bulan madu dengan Aka, nanti juga Aka akan jelaskan. Siapa kamu sebenarnya."
Mengingat petuah dari ibu mertuanya itu, Buliran bening membanjiri pipi Rin, ia membenamkan wajah ke dalam bantal sembari menutupi telinga, canda tawa di samping kamarnya semakin jelas terdengar.
*
Pagi menjelang, sarapan telah Rin tata di meja, ia melakukan semua itu terburu. Hari ini adalah awal praktek mengajar ke kelas-kelas sebagai salah satu syarat kelulusan pondok.
Gadis itu memastikan penampilannya di cermin, selain itu ia akan bertemu pelajar putra, sedikit grogi jika mengingat ada beberapa siswa lelaki satu angkatan yang dulu pernah menyatakan perasaan via surat padanya.
"Aku tidak suka makan udang, Sayang!" Isfia berteriak, melihat hidangan di meja, lantas memeluk lengan sang suami. Hamka melirik Rin yang sedang makan.
"Eh ... tolong kamu! Bawakan saya lauk lain, saya alergi udang." Perempuan itu menatap Rin sebentar lalu menaruh kepalanya di bahu Hamka sambil tersenyum dengan tangan yang juga tak lepas dari pinggang Hamka.
Rin selesai sarapan, ia meneguk air minum terburu dan berdiri sambil mengelap mulut.
"Ambil saja sendiri emang we pembantu loe." Gadis itu melengos pergi, tentu saja ia menyahut menggunakan bahasa indonesia, mana mengerti perempuan itu.
Hamka menyusul Rin ke teras.
"Sejak kemarin kamu tidak menyapaku?" Hamka bertanya, sembari menatap punggung istri pertamanya tersebut.
Rin tetap duduk memakai sepatu, sekali lagi ia mematut diri di cermin jendela. Lalu melengos keluar rumah tanpa menjawab pertanyaan Hamka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tak Semanis Madu (Tamat)
Romance"Istri ke-dua suamimu sedang hamil dan mabuk, Nak Rin. Tak apa, ya, rumahmu ini untuk adik madumu, karena kamu pun belum punya anak." "Ya, Umi." Rin terpaksa mengangguk meskipun jiwanya gemuruh. "Nanti kalau adik madumu lahiran, sekalian bantu-bantu...