Bab 16

7.5K 381 10
                                    

Mu'adz dan Rajan merupakan dua orang sahabat. Sama-sama mengambil jurusan ekonomi.

"Kamu yang pintar, aku yang kaya!" begitu ucap Rajan suatu hari kala keduanya jalan-jalan di taman kampus. Mu'adz memang cerdas berasal dari keluarga berada pula.

"Maksudmu?" Mu'adz mengernyit.

"Ya ... Meskipun saat ini kamu pintar dan kaya, suatu hari nasib orang siapa yang tahu." Rajan menjelaskan.

"Bisa saja kamu." Bosa-basi Mu'adz menimpali. "Kaya atau tidaknya kamu tetap temanku ya, kan?"

"Kalau suatu hari saya beneran jadi orang kaya yang sukses. Saya akan balas jasamu." Rajan berkata sungguh-sungguh, orang tua Mu'adz yang baik hati mau mengulurkan tangan untuk membiayai kuliahnya.

"Bisa saja kamu, yang kaya orang tuaku bukan aku!" seru Mu'adz.

Seorang wanita berjilbab berjalan di antara wanita berpakaian mini, menarik perhatian Mu'adz. Tanpa sadar pemuda itu tersenyum.

"Kalau kamu kuliah untuk kaya, kalau saya kuliah untuk melihat bidadari itu setiap hari." Mu'adz mengatakannya begitu saja.

Tahun-tahun terus bergulir, dua orang itu dipertemukan kembali dalam acara seminar, di mana Mu'adz sebagai trainer dan Rajan sebagai peserta yang mengikuti seminar bisnis.

Ke duanya saling meluapkan kerinduan. Layaknya sahabat yang nostalgia. Dalam sebuah perbincangan jalan pikir mereka bertemu.

"Kenapa gak minta saja, dana kepadaku sih?" dengan enteng Rajan berkata.

"Kamu pikir saya sedang ngemis, apa? pakai minta segala."

Sesuai dugaan Rajan, lelaki ini tak berubah, tak senang dengan istilah meminta, sekalipun kepada orang tuanya yang kaya raya. Mu'adz terkenal mandiri di kampus, tidak seperti anak orang kaya kebanyakan.

"Anak lelaki harus mandiri, kan akan punya istri dan anak. Minta sama orang tua, nanti gimana menghidupi keluarga." Begitu prinsip Mu'adz sejak dahulu.

"Begini maksud saya, anggap saja saya sedekah agar perusahaan, yang saya kelola semakin maju. Kamu punya ilmu saya punya harta, ketemu kan. Saya punya tanah yang tak terpakai, daripada anak didikmu, tinggal di tanah orang, bayar pula per bulan."

"Namanya juga ngerintis." Mu'adz menimpali.

Setelah dibujuk oleh Rajan, akhirnya Mu'adz bertahap memindahkan asrama putra dari vila sewaan ke tanah wakaf. Itu pun, awal-awal asrama berupa gubuk-gubuk kecil dengan menggunakan dana pribadi, habis-habisan, terdiri dari anak-anak yatim dan dhuafa. Melihat bagaimana bagusnya program pesantren, orang-orang kaya silih berganti datang mempercayakan anak. Menyadari banyaknya orang yang ingin belajar, Mu'adz memisahkan sekolah Tahfidz berisikan anak yatim dan dhuafa, memindahkan ke vila yang ia beli dengan harta tabungan istri.

"Sayang ...." belaian tangan halus, membuyarkan lamunan Mu'adz.

"Ayok kita jalan-jalan, meluangkan waktu, sejenak," ujar Kaysa, mengulas senyuman lembut.

Di hadapan rumah berhalaman luas, suami istri itu berdiri. Rumah yang mereka berdua tempati sebelum mendirikan pesantren. Rumah kembali kala mereka berdua benar-benar lelah.

Mu'adz dan Kaysa memasuki ruangan, kenangan masa lalu tergambar nyata. Kala kehidupan hanya berdua tanpa mengurusi banyak orang.

Pesantren yang Mu'adz dirikan, merupakan impian istrinya. Sebagai sumber pendidikan islam dari berbagai negara, dan itu menjadi nyata.

"Mungkin saatnya, kita istirahat." Kaysa menaruh kepala di bahu Mu'adz. Lelaki itu mengusap lembut kepalanya.

"Anak-anak kita telah besar, hanya Hanif saja yang masih SMP."

Tak Semanis Madu (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang