Ketika nomor peserta musyawarah siswa-siswi diundi oleh kepala sekolah, nomor Rin yang keluar duluan. Itu artinya ia yang pertama kali membuka diskusi. Naskah dalam tangannya telah diperiksa langsung oleh Ustaz Muaz seminggu yang lalu, pria sekaligus mertuanya itu mengajukan diri untuk jadi pembimbing naskahnya.
Di ruang konferensi pengurus putra- putri, acara musyawarah diadakan.
Kursi dan meja telah ditata Rin dibantu beberapa teman membentuk leter U. Pembicara berada di tengah-tengah didampingi pembimbing pengganti dari perempuan dan seorang moderator.
Setelah persiapan sempurna, moderator perempuan yang duduk di samping Rin mulai membuka acara.
Berbicara di depan umum seperti itu, bukan kali pertama untuk Rin. Namun kali ini ia merasa grogi dan deg-degan. Ia mengusung tema 'Poligami'.
"Kamu yakin dengan tema ini?" Jauh sebelum acara tiba, Ustaz Muaz bertanya sembari mengulum senyum.
"Yakin ... Babah." Rin menunduk.
"Bukan karena dendam sama suamimu, kan?" Lagi orang tua itu bertanya dan Rin menggeleng terpaksa.
Saat moderator menyerahkan kewenangan speaking kepada pembicara, Rin menutup buku kemudian membuka diskusi dengan pujian Allah serta Shalawat.
Suasana menjadi hening, ketika gadis berpipi merah di depan itu menjelaskan materi, perhatian semua orang tertuju kepadanya seorang.
Untaian demi untaian kata Rin paparkan, banyak wajah yang merah muram mendengar penjelasannya. Tentu saja yang berwajah merah itu dari barisan laki-laki. Para perempuan terutama ustazah pembimbing, merasa diwakilkan oleh penuturan Rin.
Kesempatan bertanya dibuka oleh moderator, diikuti sanggahan.
Awalnya musyawarah berjalan sesuai aturan, di mana berbagai pertanyaan ditampung dulu oleh moderator. Namun, pertanyaan yang diajukan dari pihak Ustaz membuat aturan terabaikan.
Seorang lelaki yang telah menikah mengangkat tangan. "Poligami itu adalah sunah, jika anda tidak mengakuinya berarti anda menentang Rasullullah."
"Asal mula hukum dasar Islam itu hanya dua, Quran dan Hadits." Rin berusaha tenang dalam menanggapi setiap pertanyaan. "Karena banyaknya masalah pada jaman ini, yang tak ada di jaman Nabi, para ulama setelah mempelajari Quran dan Hadits, mengeluarkan Fatwa, landasan hukum Islam terbagi menjadi empat bagian. Quran, Hadits, Ijma, dan Qiyas.
Untuk memahami suatu hukum kita harus mempelajari landasan empat hukum Islam tersebut, dari semua itu lahirlah dua belas hukum yang sering kita gunakan. 1. Wajib 2. Sunah 3. Haram 4. Mubah 5. Makruh dsb. Ada pun hukum dasar poligami itu bukan sunah, melainkan mubah, boleh dikerjakan atau pun tidak.
Tak ada satupun hadits shahih yang menjelaskan tentang wajibnya poligami, melainkan Firman Allah dalam surat An-Nisa :3. "Rin menghela napas mengambil jeda. "Bahkan poligami pun bisa menjadi haram, sebagaimana pendapat Imam Syafi'i dalam kitab Al-Fiqh Al-Manhaji Al-Imam Al-Syafii disebutkan empat hukum poligami :
1. Mubah, (Surat An-nisa : 3) jika seorang lelaki khawatir tidak mampu mensejahterakan perempuan yatim yang akan dinikahi, maka mubah/boleh menikahi perempuan biasa, dua, tiga atau empat dengan syarat telah mampu adil.
2. Sunah menikah lagi dengan beberapa alasan, misalkan istri sakit atau pun mandul, serta uzur yang semisal, itu pun jika merasa diri bisa adil.
3. Makruh, berpoligami hanya untuk kesenangan, sementara dirinya masih ragu dalam berlaku adil yang menyebabkan berbagai mudharat kepada para wanita yang dinikahinya. Misalkan yang sering terjadi dari keluarga poligami adalah perceraian, anak-anak yang terampas hak asuhnya hingga meninggalkan jejak trauma. Nabi sendiri pernah melarang poligami untuk putrinya Fatimah oleh Ali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tak Semanis Madu (Tamat)
Romance"Istri ke-dua suamimu sedang hamil dan mabuk, Nak Rin. Tak apa, ya, rumahmu ini untuk adik madumu, karena kamu pun belum punya anak." "Ya, Umi." Rin terpaksa mengangguk meskipun jiwanya gemuruh. "Nanti kalau adik madumu lahiran, sekalian bantu-bantu...