Turun dari pesawat, Rin celingukan di bandara. Pria tua gemuk berwajah oriental, langsung menghampirinya, menawarkan tumpangan. Gadis itu memeriksa sisa uang dalam tas, lalu menatap wajah si sopir.
"Kalau harga segitu uang saya tidak cukup, Tuan," ucap Rin menggunakan bahasa Inggris sambil mengibaskan tangan. Barusan sang sopir memberitahukan padanya harga perjalanan menuju tujuan menggunakan bahasa Inggris dengan grammar berantakan.
Pria gemuk itu tampak berbisik-bisik dengan bahasa lokal antara sesama sopir, Rin mengernyit melihat gerak-gerik mereka.
"Kalau tidak setuju, cari saja taksi lain, sama saja kok harganya," ucap si sopir menggunakan bahasa Arab pasaran.
"Tapi saya tidak tahu pasti, alamat yang dituju." Rin menyahut menggunakan bahasa Arab formal. "Nanti saya kehabisan uang ...," lanjut Rin dalam hati seraya menekurkan pandangan, kedua matanya berkaca-kaca.
"Ya terserah kamu_"
"Ada, apa?" Pria tinggi dengan setelah blazer, menghalangi si sopir untuk berbicara pada Rin, gadis itu sampai terkesiap menatap sepasang mata amber di hadapannya.
"Kamu dari mana? Mau ke mana? Mau-maunya aja ditipu sama sopir, lugu baget sih kamu." Tanpa ijin, pria dengan tinggi tubuh sekitaran 187 cm itu menggamit lengan bawah Rin menjauhi para lelaki tua itu.
"S-s-a-ya ... lagi mencari seseorang, di university." Rin menarik tangannya spontan dan mengeluarkan ponsel dari saku jaketnya, memperlihatkan alamat pada pria asing itu.
"Saya tahu, mau saya antar?" Usai membaca alamat, pria itu menawarkan bantuan sambil tersenyum tipis.
"Kamu bilang, saya tidak boleh percaya kepada orang asing, apakah kamu bisa dipercaya?" Rin menatap selidik wajah rupawan khas ras kaukasoid di hadapannya.
"Kebetulan saya mau ke sana, baru tiba dari England, saudari tiriku menikah hari ini, jadi mau tidak mau, harus hadir."
"Saudari tiri?" Rin mengernyit.
"Iya, nih undangannya." Pria itu menyodorkan kartu undangan dengan ejaan bahasa Arab.
Tangan Rin gemetar melihat nama mempelai pria yang tertera dalam undangan pernikahan tersebut, wajahnya berubah pucat.
"Ayo kita pergi bersama ke sana, saya juga harus menemui seseorang." Rin menunduk lalu menyeka air mata di pipi dengan sapu tangan dengan gerakan cepat.
Pemuda itu menatap bingung wajah sendu Rin, tetapi tetap membimbing gadis itu menaiki angkutan umum ekonomis.
"Saya Asgar, nama yang unik kalau kata Ibu saya. Artinya paling kecil, agar saya selalu merasa kecil, rendah hati bertemu dengan siapa pun termasuk kamu." Asgar membuka percakapan, untuk mencairkan suasana, gadis di sampingnya sedari awal duduk, terus menatap ke luar jendela, tak mengeluarkan kalimat satu patah kata pun.
"Ngomong-ngomong kamu ke universitas, mau ngapain? Kalau saya diminta Ibu untuk mewakili keluarga datang, Ibu saya adalah istri pertama dari Babah, dan adik saya ini anak dari istri kedua_"
"Bisakah kamu diam?" Rin menghadapkan wajah ke arah pemuda itu, berkata sedikit membentak.
Asgar kaget melihat air mata membanjiri pipi Rin, meskipun penasaran, pemuda itu akhirnya memilih diam.
Ketika bis berhenti di alamat tujuan, Rin turun terburu menuju lokasi di mana Universitas berada. Setelah berhasil tiba di lokasi, tiga orang keamanan yang berjaga di pos mencegahnya melewati gerbang.
"Apakah kalian tidak mengerti bahasa Arab formal? Ok, I want to meet with Mr. Hamka. I am his wife, don't you understand?" Rin berkata dengan nada cepat, rongga dadanya terasa sempit dan hatinya panas sekali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tak Semanis Madu (Tamat)
Romance"Istri ke-dua suamimu sedang hamil dan mabuk, Nak Rin. Tak apa, ya, rumahmu ini untuk adik madumu, karena kamu pun belum punya anak." "Ya, Umi." Rin terpaksa mengangguk meskipun jiwanya gemuruh. "Nanti kalau adik madumu lahiran, sekalian bantu-bantu...