Bab 10

7.9K 405 22
                                    

Hilma mematut dirinya depan cermin besar. Ia mengenakan jilbab pashmina berwarna pink senada dengan pakaian atas, dibalut jas coklat dan Rok mengembang berwarna pink tua. Tak lupa ia memilih tas yang sewarna dengan pakaiannya.


Terakhir Hilma mengoleskan lip mate ke bibirnya dan sun block tipis ke muka. Rumah telah sepi pukul sembilan pagi. "Hamka ngantor, Isfia senang molor dan si ceriwis telah berangkat sekolah," gumamnya sambil tersenyum tipis.


Wanita muda itu menstater motor, keluar rumah berniat membeli sayuran di mall. Sebelum pergi, dirinya pergi ke wilayah santriwati dan meninggalkan motornya di halaman.


Beberapa pelajar yang berpapasan dengannya menyapa dengan salam. Hilma menjawab salam sambil tersenyum, berjalan menuju kamar pengajar perempuan.


"Kalau bukan karena pengaruh Abinya mana bisa ia menikah dengan Hamka, kesian banget ya, Rin. Dasar pelakor si Hilma itu."


Hilma mematung depan kamar mendengar ucapan tersebut, perlahan matanya berkaca-kaca . Tak menyangka teman satu angkatannya rupanya senang sekali memakan bangkainya.


"Padahal dari dulu juga Hamka itu sukanya sama_"


"Assalamualaikum." Hilma masuk ke dalam kamar memotong pembicaraan mereka. Teman-temannya itu berwajah pias dan salah tingkah.


"Eh, Ukh, antum mau ke mana cantik banget?" Salah satu dari mereka bertanya sekadar basa-basi.


Di kalangan santriwati dan pengurus Hilma memang terkenal dengan cara pakainya yang modis dan elegan.


"Saya kangen sama kalian." Hilma tersenyum tipis secara spontan para temannya itu tertawa sedangkan tangannya dalam kerudung mengepal.


"Adakah yang mau ikut belanja bareng saya?" tanya Hilma.


Mereka saling sikut lalu berbisik membuat Hilma memaksakan senyuman.


"Kita lagi ada pekerjaan, maaf ya." Akhirnya salah satu dari mereka menimpali.


Belanja dengan Hilma bukan have fun malah jadi babu untuk bawa barang-barang yang dibelinya.


Dengan hati yang dongkol Hilma menyalakan motor. Jarak ke mall cukup jauh ditambah cuaca sedang terik. Suasana hati yang buruk membuatnya kurang konsentrasi saat menyetir, hampir saja ia menambrak gerobak sayuran yang didorong ibu tua di pinggir jalan.


"Kalau jalan itu pakai mata bukan dengkul, gimana, sih?!" Ibu pemilik sayuran murka berkacak pinggang dengan sebelah tangan dan tangan satunya menunjuk muka Hilma.


"Maaf, Bu, tak sengaja." Hilma mengangguk dan tersenyum semanis mungkin.

Tak Semanis Madu (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang