Rin berdiri depan pintu membawa kardus dengan mata sembab dan badan basah kuyup.
Di luar asrama hujan turun deras sekali, teman-teman seangkatan terutama Sofia yang melihatnya langsung menghampiri dengan ekspresi wajah khawatir.
"Are you okay, Dear?" Sofia memegang lengan atas Rin yang gemetar.
"Aku akan pindah lagi ke sini, boleh, ya?" tanya Rin dengan bibir gemetar yang kebiruan lalu memaksakan senyuman tipis.
Seolah mengerti apa yang menimpa Rin, teman-teman seangkatannya itu mengangguk, dan membawa masuk Rin ke dalam kamar.
*
Malam harinya, mereka saling bertukar cerita, bernostalgia masa-masa murid baru, sengaja Sofia selalu melibatkan Rin dalam percakapan agar gadis itu tak larut dalam lamunan.
"Ingat gak? Dulu itu Alexa itu galak banget sama Rin."
Spontan Aleksa menatap tajam Rubiya. "Kalian juga jahat sama Rin, bukan hanya aku aja kali."
"Kamu tuh, yang paling kejam, benar, gak?" Ane mengalihkan pandangan ke arah teman-teman lainnya sambil tersenyum kecil.
"Betul sekali!"
"Itu ... Karena aku dulu menyukai Hamka. Aku sebal sekali ... Saat Hamka memandang Rin pas acara kasyaf." Leksa berkata jujur. Wajahnya memerah.
"Nah ... Loh, Rin. Jangan-jangan dia mau daftar jadi istri terakhir Hamka."
"Ya enggaklah ... saya ingin punya suami yang menjadikan saya satu-satunya istri." Leksa langsung menyahut. "Dulu itu hanya obsesi sesaat saja, siapa juga perempuan yang tak suka cowok tampan nan elegan."
Rin hanya tersenyum melihat kehebohan mereka.
Puas bercerita, mayoritas para pelajar itu pun istirahat dalam mimpi, sedangkan Sofia tak bisa lelap, dirinya memerhatikan gelagat Rin yang terlihat terus melamun meskipun tangannya memegang buku yang terbuka.
"Kamu kurus sekarang," gumam Sofia merasa prihatin dengan wajah Rin yang tak secerah dulu.
"Aku memang ingin kurus." Rin menyahut dan Sofia pun menggeser tubuh ke sisinya.
"Fathul kutub kamu judulnya apa?" tanya Sofia penasaran.
"Ada, deh." Rin tersenyum jenaka, memandang Sofia sekilas. Lalu kembali membaca buku.
*
Pukul sembilan malam, Rin yang terlihat sangat lelah tertidur pulas. Sofia masih berjaga malam dengan beberapa teman di depan kamar sambil membaca buku dan sesekali mengobrol, ia biasa bergadang.
Saat itu, keamanan putri menghampirinya sambil mengucapkan salam.
"Waalaikumussalam, ada, apa?" tanya Sofia.
"Ada Ustaz Hamka di gerbang." Siswi itu menjawab.
Jantung Sofia langsung berdebar kencang dan saling pandang dengan sesama temannya.
"Beliau mau masuk, jemput Sister Rin." Keamanan siswi itu meneruskan ucapan.
Sofia dan temannya pun berdiri sebab melihat lelaki berparas rupawan dengan tinggi tubuh profesional itu berjalan di lapangan menuju tempatnya berdiri.
Para santriwati yang masih berjalan di lorong spontan berhenti begitu menyadari siapa yang datang dan terlihat pula tirai-tirai kamar terbuka, memperlihatkan para santriwati yang mengintip di baliknya.
Sementara teman-teman Sofia yang berada di kamar, keluar berhamburan sambil mengenakan jilbab sebisanya lalu berbaris memberikan jalan untuk Hamka memasuki kamar.
"Apakah istriku ada di dalam?" tanyanya sambil tersenyum tipis tanpa menatap teman-teman Rin, pandangannya tertuju pada tembok yang kosong.
"Ada, Stadz, silakan masuk." Sofia menunjuk dengan jempol ke arah pintu yang terbuka lebar.
Hamka pun melewati teman-teman Rin itu lalu masuk ke dalam kamar seraya mengucapkan salam dengan suara pelan.
Dilihatnya Rin tidur meringkuk seperti bayi di atas kasur busa layaknya santriwati. Ia pun duduk di samping Rin, mengusap lembut rambut istrinya sambil memerhatikan setiap jengkal wajah manis sang istri dengan senyuman tipis.
Perempuan muda itu menggeliat, berbalik badan memunggungi Hamka. Pria itu tersenyum kecil mengingat dulu seringkali ditendang Rin kala tidur bersama.
Hamka tak berniat membangunkan sang istri, ia mengetahui Rin kabur dari rumah lewat jendela, jika sampai gadis itu terbangun akan sulit mengajaknya pulang. Ia pun membopong Rin keluar kamar melewati teman-teman Rin, semburat kemerahan terlihat dari pipi para perempuan muda itu melihat adegan tersebut.
*
Rin menggeliat malas, apabila sedang halangan ingin sekali dirinya tidur seharian jika tak ingat masih sekolah. Dirabanya samping kasur hendak membangunkan Sofia, justru suara-suara yang familiar yang ia dengar.
Rin membuka mata dan langsung terkejut mendapati dirinya berada di atas kasur spring bed.
Ia berlari ke luar kamar, masih terbawa pengaruh tidur dan melihat Isfia dan Hilma sedang bersitegang soal sarapan pagi.
"Biar saya saja yang masak, kamu beberes rumah saja." Isfia tersenyum tipis menepis lembut tangan Hilma yang meraih cukil.
Hilma ingin menggoreng ikan bandeng kesukaan Hamka, sedangkan Isfia berniat memasak lemak kebuli.
"Saya saja." Hilma berhasil merebut cukil dari tangan Isfia, sembari tersenyum tipis ia mulai menyalakan kompor untuk memanaskan minyak tanpa memedulikan Isfia yang terdiam berwajah muram.
Waktu itu, Hamka memasuki dapur, bergegas Isfia mengambil kesempatan tersebut. Dirinya mengambil susu dari atas meja, melihat hal tersebut Hilma berjalan terburu mendekati sang suami langsung mengusap-usap dadanya.
"Mas baru pulang dari masjid, ya? Mau makan pisang goreng dulu atau teh hangat?" Hilma sengaja menghalangi halangi Isfia yang hendak memberikan segelas susu. Hamka terlihat tak nyaman, Pandangannya tertuju kepada Isfia.
"Kamu pegang apa itu, sayang?" tanyanya sambil menatap Isfia.
Sontak saja wajah Hilma berubah masam, ia menurunkan tangan kasar dari leher sang suami.
Sembari tersenyum lembut, Isfia Menyodorkan segelas susu pada sang suami. Namun Hilma mengulurkan tangan untuk meraih susu tersebut, yang membuat Isfia melayangkan tatapan tajam padanya dan menarik kembali gelas itu.
"Biar saya saja." Hilma berusaha mengambil gelas dalam genggaman Isfia, dan Isfia menepis lembut tangan wanita itu, memaksakan sebuah senyuman. Namun, Hilma terus saja mengulangi perbuatannya.
"Kamu ini kenapa, sih? ini buatan saya!" Akhirnya Isfia hilang kesabaran. Hilma tak juga melepaskan gelas yang dirinya pegang.
Hamka berusaha untuk melerai tapi tak berhasil. Kedua perempuan itu malah saling tarik menarik gelas berisi susu.
"Mendingan kamu masak saja tuh, tadi kamu bilang mau masak, kan?!" Hilma membentak, rahangnya mengeras ia tarik gelas itu sekuat tenaga. Air susu dalam gelas itu pun menyembur ke wajah Hamka, sementara gelasnya jatuh, terserak di lantai.
Hilma dan Isfia menutup mulut bersamaan langsung mengusap-usap wajah sang suami. Yang ada wajah lelaki itu semakin belepotan.
Di belakang mereka, Rin menahan tawa.
Bau gosong berhasil menghentikan drama para perempuan itu, mereka kompak berlari menuju kompor sementara Hamka membalikkan badan dan mendapati Rin cekikikan.
"Kamu sudah bangun?" tanya Hamka dengan wajahnya yang seperti mumi.
Bukannya menjawab, Rin memalingkan wajah dan melengos pergi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tak Semanis Madu (Tamat)
Romance"Istri ke-dua suamimu sedang hamil dan mabuk, Nak Rin. Tak apa, ya, rumahmu ini untuk adik madumu, karena kamu pun belum punya anak." "Ya, Umi." Rin terpaksa mengangguk meskipun jiwanya gemuruh. "Nanti kalau adik madumu lahiran, sekalian bantu-bantu...