Isfia muntah-muntah di washtafel dapur, membuat Rin yang mendengarnya ikutan mual. Ia pun menutup cover buku mata pelajaran balaghoh lalu turun dari pagar.
Sudah dua minggu lamanya Isfia dan Hamka tinggal di kediamannya.
Langkah Rin berhenti di ambang pintu, Hamka terlihat mengurut-urut tengkuk Isfia seraya mengatakan hal-hal yang menenangkan pada istri keduanya itu.
Gadis itu pun balik lagi ke kamar menutup daun pintu dengan gerakan pelan. Matanya berkaca-kaca menahan panas perasaannya. Jauh di relung hatinya, ia tak rela sang suami menyentuh wanita lain.
Tak berselang lama, suara gelak tawa terdengar jelas dari kamar sebelah. Itu suara Hamka yang tertawa berpadu dengan tawa Isfia.
"Kamu hamil sayang?!"
Rin melangkah ke sudut ruangan, duduk di sana lantas mulai terisak memeluk lutut sendiri.
"Iya aku hamil, Sayang." Isfia tersenyum bahagia. Spontan Hamka menggendong tubuhnya dan meletakkan ke atas kasur.
"Kalau begitu kita tunda pulang ke Qatar, ya. Kan bumil gak boleh naik pesawat apalagi hamil muda." Hamka menjawil dagu Isfia, wanita itu semakin menelusupkan kepala ke dadanya.
"Kita honey moon, keliling Indonesia, ya. Agar punya kenang-kenangan pas pulang."
Isfia mengangguk setuju.
*
Selagi pasangan pengantin baru itu bermesraan tanpa kenal waktu dan tempat, sedangkan Rin beres-beres rumah dan memasak.
Seperti saat ini, Isfia bergelayut manja di leher Hamka menyaksikan ikan-ikan yang berenang di kolam. Tak jauh dari kolam kecil itu, Rin menjemur pakaian, berusaha membutakan mata dan mentulikan telinga terhadap apa yang pengantin baru itu lakukan.
"Sayang ...." Isfia merajuk memegang wajah Hamka. Dipegang manja seperti demikian, pria itu tersenyum lembut.
"Aku ingin makan ikan yang ada di kolam ini saja." Isfia mengusap-usap perut sendiri. Hamka bersiap mengatakan sesuatu, tetapi Isfia mendahului memanggil Rin.
"Eh ... kamu, tolong ambilkan Ikan-ikan di kolam itu dan goreng untuk saya, ya." Isfia menyuruh Rin, gadis yang sedang menjemur baju itu menghentakkan cucian ke ember, membalikkan badan dan menatap tajam ke arah Hamka.
"Kalian itu tamu atau menganggap saya pembantu, sih?" Gadis itu menekan setiap kalimat yang diucapkannya.
Wajah Hamka berubah masam mendengar bentakan Rin.
"Jika kamu tidak bersedia gak usah marah seperti itu." Hamka menyahut dingin.
"Apa yang dikatakan adikmu, Sayang?" Isfia mengerutkan kening meminta penjelasan dari sang suami, tetapi, Hamka tak menggubris masih fokus menanti respon Rin.
"Itu adalah ikan-ikan peliharaanku yang menemaniku saat kesepian. Enak saja mak lampir itu mau makan, potong saja otongmu sekalian kalau emang ia ngidam." Rin menghentakkan kaki lalu berjalan menjauhi mereka. Hamka menyusulnya dan tidak menghiraukan panggilan Isfia di belakang.
"Kenapa kamu marah-marah seperti itu?" Hamka meraih kedua lengan Rin, melihat Isfia datang, buru-buru pria itu melepaskan tangan Rin.
Sebenarnya Rin sakit hati atas perlakuan Hamka barusan, tetapi karena tak ingin terlihat lemah, ia pun berkata, "Aku tidak marah Hamka, ikan-ikan itu lebih berharga bagiku dibandingkan kamu dan istrimu itu."
"Kamu juga istriku, Sayang." Hamka berbicara dengan nada rendah, menatap lembut wajah Rin, sambil mengerutkan kening.
"Kalau iya, aku ini istrimu." Rin menepuk dadanya sendiri. "Katakan sama Lampir itu. Aku istri pertamamu dan dia hanya gundik." Rin menuding ke arah Isfia.
Dituding seperti itu Isfia tampak kebingungan. "Apakah adikmu marah kepadaku, Sayang?" Isfi bertanya takut. Hamka menggeleng tanpa menatapnya, tatapannya masih fokus pada Rin.
"Bukan, ia hanya tidak ingin ikan kesayangannya dimakan." Hamka menyahut menggunakan dialek teluk Qatar.
"Oh begitu, aku minta maaf wahai adiknya suamiku." Isfi mengungkapkan penyesalan, menyatukan kedua tangan sambil mengerucutkan bibir di hadapan Rin.
"Aku sudah bilang kalau kamu adalah istriku." Hamka meraih tangan Rin dan menatap lembut gadis itu. Rin menarik kasar tangannya.
"Kamu kira aku sebodoh itu dalam memahami percakapan kalian? Kamu tidak bilang kepadanya bahwa aku istrimu. Suami macam apa kamu ini." Rin melangkah lebar menjauhi Hamka, Isfi langsung menghampiri suaminya itu.
Senyuman Isfia selalu berhasil menenangkan hati pria itu kembali.
***
Isfia berhari-hari dirawat di rumah sakit karena beberapa kali pingsan. Dokter menyatakan bahwasanya wanita itu lemah kandungan. Semua perhatian keluarga pun tertuju pada wanita Arab itu.
Menyaksikan rinai hujan di hadapannya, sedikit meredakan api cemburu dan sakit hati dalam dada Rin, ia merenung di balkon kamar, tak menyadari jika seseorang telah memasuki kamarnya.
"Dik, ayo kita bicara di luar."
Rin menoleh sekilas kepada Hamka. "Mengapa tidak bicara di sini saja, sih? Takut istrimu curiga dan pingsan lagi?"
Hamka tak menghiraukan ucapan Rin. "Umi juga ingin bicara sama kamu."
Benar ternyata. Ummu Hanif telah berada di ruang tengah. Melihat Rin datang, wanita paruh baya itu mengulurkan tangan, meraih lengan Rin. Perlakuan mertuanya tersebutlah yang terkadang menenangkan jiwa Rin.
"Puteriku sayang, Rin." Ummu Hanif membelai punggung gadis itu. "Isfia sekarang lagi sakit-sakitan mual karena hamil, Umi berharap, kamu bisa berlapang dada, ya, Nak. Jangan selalu menunjukkan sikap judes sekarang, kalau sama Isfi, nanti dia kepikiran, mungkin dia merasa asing kalau kita gak ramah. Keluarganya di luar negri, jauh."
Ubun-ubun Rin mendidih mendengar perkataan sang ibu mertua. Dari mana wanita itu tahu polemik rumah tangganya, kalau bukan dari Hamka.
"Awalnya kita hanya silaturahim ke sini, Dik, tapi jadinya seperti ini. Isfi hamil."
Mata Rin mulai berkaca, ia memalingkan pandangan, agar air mata yang terus mendesak keluar tak tumpah.
"Kamu kan belum punya anak, Dik. Rumah ini buat Isfia, ya, sampai Isfi lahiran in syaa Allah. Kalau ada rizki, nanti Mas bangunkan rumah untukmu, di samping rumah ini."
Sakit hati dan amarah menyatu dalam dada Rin, kedua tangan Rin dalam jilbab mengepal. Ia menunjukkan kepala dan menghela napas.
"Bagaimana, Dik?" Hamka kembali bertanya.
"Gak papa kok, Mas. Buat Isfi saja rumah ini, lagian ini rumah mas juga yang bangun, bukan aku." Rin berusaha menekan sakit hati dan berbicara dengan nada normal.
"Syukurlah kamu mengerti, Dik. Tapi selama Isfi hamil kamu tinggal bareng kita untuk merawat dan menyediakan keperluan Isfia, ya, seperti biasanya."
Hati Rin semakin dalam terluka. Bukannya mencarikan tempat untuk dirinya setelah diusir secara halus, Hamka justru meminta dirinya jadi babu kembali.
"Iya ... nanti Rin bantu semampu, Rin." Rin mengulum senyum. Ummu Hanif menepuk-nepuk punggungnya.
"Tak salah Hamka memilihmu jadi istri, Nak, kamu sholehah dan pengertian."
Rin hanya menanggapi dengan senyuman.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tak Semanis Madu (Tamat)
Romance"Istri ke-dua suamimu sedang hamil dan mabuk, Nak Rin. Tak apa, ya, rumahmu ini untuk adik madumu, karena kamu pun belum punya anak." "Ya, Umi." Rin terpaksa mengangguk meskipun jiwanya gemuruh. "Nanti kalau adik madumu lahiran, sekalian bantu-bantu...