Rin turun dari mobil menggendong tas ransel. Ia memutuskan tinggal di asrama putri sampai kelulusan pesantren dan Ummu Hanif menyetujuinya.
Sore itu, Isfia dan bayinya pulang dari rumah sakit. Semua orang menyambut kedatangannya dengan suka cita.
Hamka terus saja menimang bayi lelakinya yang baru tiba itu di halaman belakang. Mendendangkan Sholawat dengan wajah yang berseri-seri ditemani Isfia. Perempuan berdarah Arab itu menjawil pipi putranya yang lembut larut dalam kebahagiaan bersama Hamka.
Dari balik kaca jendela, Rin memerhatikan pasangan yang berada di gazebo itu dengan perasaan campur aduk.
"Kamu balik lagi ke sini?" Hilma bertanya membuyarkan lamunan Rin. "Kenapa tak bilang kalau mau pulang?"
Rin tidak menggubris ia membalikan badan meninggalkan Hilma dan berjalan dengan perasaan ragu ke arah Hamka.
"Saya minta maaf, saya yang salah, saya pergi tanpa pamit. Dan ... sekarang, saya ijin tinggal dulu di asrama." Rin berbicara dengan wajah tertunduk di hadapan Hamka. Kini lelaki itu telah duduk di samping Isfia , terus tersenyum menatap bayi di gendongan istri ke duanya tersebut seolah tak memedulikan kehadirannya.
"Karena anakku baru lahir, selayaknya kamu membantu. Jangan bikin ribut mulu, ya." Hamka menyahut lalu fokus lagi ke putranya. "Kami baru tiba, masih capek, seharusnya kemarin itu kamu mendoakan Isfia, kamu ... malah larut dengan perasaan sendiri, kabur lagi."
Mata Rin panas, ia telan tenggorokan yang terasa kering. Dari sudut matanya ia melihat, Isfia selalu saja mencuri pandang ke arahnya lalu menunduk menghindari kontak mata dengannya.
*
Aqiqah putra pertama Hamka digelar pada hari ke tujuh. Di dapur, Rin sibuk bersama para santriwati mempersiapkan jamuan.
Semakin lama, para tamu yang berdatangan pun semakin banyak. Sampai Rin berulang kali datang ke tenda acara, mengantarkan jamuan untuk untuk mereka.
Shalawat Nabi dilantunkan bersama pada saat prosesi pengguntingan rambut bayi dalam gendongan Hamka.
Saat itu, Rin terdiam di antara teman-teman satu angkatannya, menatap Hamka yang kini berdiri di samping Isfia yang menggendong bayi. Ummu Hanif, Mutia dan Hilma serta keluarga lainnya berdatangan dan berdiri di sisi kiri dan kanan Hamka dan Isfia bersiap difoto.
Buliran bening bergulir di pipi Rin, buru-buru gadis itu menyeka dengan ujung jilbab. Ia berdiri lalu pergi dari tempat tersebut dengan cepat, entah mau ke mana. Tak sanggup berlama-lama melihat kebersamaan mereka.
***
Tengah malam Rin terbangun oleh tangisan kencang bayi dalam ranjang boks. Ia yang tidur di samping Isfia pun bangkit dan mengayun-ayun bayi tersebut sembari memberikan susu formula dari botol ke mulut mungilnya. Isfia tak bisa memberikan ASI, entah apa alasannya? Rin tidak mengerti.
"Maaf, ya, Rin, aku merepotkanmu." Isfia berbicara setengah mengantuk lalu tertidur lagi.
Pagi-pagi sekali Rin mencuci pakaian bayi lalu menjemur dan menyiapkan sarapan khusus untuk Isfia.
Saat itu, Hamka dan Hilma keluar dari kamar dengan posisi Hilma yang memeluk tangannya. Rin memalingkan wajah, pura-pura tak melihat, lalu meneruskan mengepel lantai.
"Saya pergi dulu." Hamka berkata sambil menatap wajah Rin, tetapi Rin enggan melihat, ia hanya berhenti mengepel. "Jaga bayiku, ya, terima kasih udah mau membantu." Hamka tersenyum lalu mengusap kepala Rin sebentar. Lelaki itu pergi bersama Hilma entah mau ke mana.
*
"Ada, apa?" tanya Rin kala melipat baju bayi di ruang tengah dan melihat Isfia keluar kamar langsung terisak di kursi.
"Hilma hamil," jawab Isfia membuat Rin tertegun, terbayang kejadian tadi pagi, Hamka dan Hilma mungkin periksa kandungan ke klinik.
Usai mengurus keperluan bayi, Rin pun masak dan menyajikan di atas meja. Karena letih dan lapar, dari dua minggu lalu tenaganya seolah diforsir dia pun langsung makan dan tak peduli ketika Hamka dan Hilma datang langsung gabung makan bersamanya.
"Sayang aku mual ... kalau makan yang berminyak-minyak." Hilma mendesah sambil mengelus perutnya sendiri. Hamka pun melirik sekilas kepada Rin yang hanya makan dalam diam.
"Kamu mau makan apa? Nanti dimasakin." Hamka bertanya sambil menatap lembut Hilma.
"Benarkah?" Pandangan mata Hilma berbinar.
Hamka mengangguk.
"Aku mau sayur asem sekarang, Sayang." Hilma berkata manja lalu memegang tangan Hamka.
"Adik, tolong bikinkan sayur asem untuk Kak Hilma." Hamka mengarahkan pandangan pada Rin.
Rin menaruh sendok di piring cukup keras lalu bangkit dari kursi. Membuka kulkas mengiris-iris bahan-bahan dengan cepat. Memasak kilat lalu menghidangkan di meja.
"Kelamaan, Yank, akunya udah gak mau." Hilma menggenggam erat tangan Hamka sambil manyun, sedangkan Rin yang melihat adegan tersebut mengepalkan tangannya.
***
Depan cermin Rin terpaku menatap bayangan wajahnya sendiri yang tampak letih dan kusam. Ia telah bertekad dengan keputusannya.
"Jangan pergi, Rin, kalau kamu tidak ada, nanti siapa yang bantuin saya jaga dedek? Siapa yang masakin untuk saya? Isfia berkata hampir menangis. "Tolong jangan pergi."
Sebenarnya Rin bertekad tinggal di rumah ini apapun kondisinya. Selain Hamka dulu pernah bilang, bahwa rumah tersebut dibangun untuknya, banyak sekali kenangan bersama Hamka di setiap sudutnya, jauh, sebelum kehadiran para madunya.
"Maaf, saya harus fokus belajar bentar lagi kelulusan, semoga Kak Isfi dan dek bayi sehat selalu." Rin tersenyum tulus.
Ia menggendong tas ransel dan membawa dua kardus berisi buku dan barang-barangnya secara bertahap, beberapa temannya telah menunggu depan pagar rumah.
"Mau ke mana kamu?" tanya Hamka dari dalam rumah berjalan cepat menyamai langkah Rin, tetapi Rin tidak menggubrisnya.
Pria itu menahan lengannya, sontak saja Rin melemparkan tatapan tajam padanya.
"Kamu telah bersuami, pulang pergi seenak kamu saja." Hamka memegang kuat ke dua lengan Rin, menatap datar gadis itu.
"Maaf, saya harus belajar." Rin menarik lengannya. Akan tetapi, Hamka tetap kukuh mempertahankan tangannya.
"Lepaskan saya, jika kamu menganggap saya adalah belahan jiwamu bukan budakmu." Rin menekan kata-katanya.
"Kamu selalu merasa menjadi budak, aku tak menganggapmu begitu."
"Kamu memang tidak menganggapku budak, tetapi apa yang kamu lakukan padaku seolah-olah aku adalah budak yang tak memiliki kebebasan apapun selain tunduk padamu tak peduli sengsara ataupun sakit."
"Kamu berlebihan sekali, Rin," tutur Hamka lalu melepaskan tangan Rin. "Apakah aku pernah menyakiti fisikmu?"
Rin menghela napas panjang, sepertinya hanya buang-buang waktu melayani ucapan Hamka.
"Jawab saya, Rin."
"Kamu memang bukan perempuan tak akan merasakan apa yang aku rasakan, tetapi kita sama memiliki hati. Bagaimana kondisi hatimu jika aku menduakanmu dengan pria lain?"
"Mana ada istri menduakan suami?" Hamka terkekeh.
"Maka bersyukurlah kamu memiliki istri sepertiku yang hatinya berusaha ikhlas dengan perlakuanmu menduakanku."
"Rin!" panggil suara feminim dari arah pagar menghentikan gerak bibir Hamka yang akan membalas ucapan Rin.
Rin bergegas pergi dari hadapan Hamka, beberapa teman yang menunggui sedari tadi, langsung membantunya membawa barang-barangnya.
Hamka menghela napas panjang, dengan pandangan kabur oleh air mata menatap punggung sang istri yang mulai menjauh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tak Semanis Madu (Tamat)
Romance"Istri ke-dua suamimu sedang hamil dan mabuk, Nak Rin. Tak apa, ya, rumahmu ini untuk adik madumu, karena kamu pun belum punya anak." "Ya, Umi." Rin terpaksa mengangguk meskipun jiwanya gemuruh. "Nanti kalau adik madumu lahiran, sekalian bantu-bantu...