Bab 13

7.9K 370 10
                                    

Tiga hari Rin berada di rumah sang ibu. Kesehariannya selain belajar adalah membantu ibunya di ladang. Seperti saat ini  Riyadil dan gadis itu bersitegang soal perkara sepele yang berlanjut saling lempar buah jagung yang baru dipetik.

"Gusti nu agung! Gak di mana-mana kerjaan kalian!" Mira berlari menghampiri Rin dan Riyadil sembari mengangkat sepotong bambu, menakut-nakuti agar dua anaknya itu berhenti tengkar. "Kalian pikir itu jagung langsung jadi apa, ya?!"

"Si Adi menghina saya terus! Diajari emak menghina orang!" Rin cemberut.

"Emang benar kamu putus sekolah karena terobsesi Hamka, bucin tau gak!"

"Saya udah punya ijazah umum tahu. Kalau Ijazah asrama nanti nyusul." Rin membela diri.

Mira menghela napas lalu duduk istirahat di bawah pohon jambu, membuka kempis lalu minum dengan perlahan . Rin dan adiknya pun ikutan duduk di sampingnya.

Melihat raut wajah ibunya yang mulai keriput, hati Rin sakit, dirinya belum mampu membahagiakan perempuan yang telah melahirkannya itu secara finansial. "Aku punya uang banyak tahu, Mak, nanti kita jalan-jalan, yuk, sekeluarga, nonton ke bioskop misalkan," ujarnya dengan senyuman di bibir.

"Punya uang simpan saja, buat masa depanmu." Mira menyahut datar.

"Iya, Teh, kan masa depanmu sekarang tak jelas."

Rin langsung menggetok kepala Adi dengan jagung. Membuat remaja cowok itu melotot dan akan membalas tetapi sang ibu lekas melerai.

"Sudah-sudah, kamu punya uang dari mana?" Mira mengalihkan pertengkaran mereka.

"Dari Hamka." Rin tersenyum, wajahnya bersemu merah.

"Cie-cie!" Adi menyoraki.

"Itu uang suamimu."

"Bukan, Mak, kalau untuk makan biasanya Hamka langsung ngasih buat belanja. Ini uang jajan sama perawatan katanya. Terlalu besar ia kasih, wong biasanya Rin puasa daud dan tidak perawatan, jadi Rin tabung."

"Perawatan apa? Mang kamu sakit teh?" Adi melongo.

"Bukan sakit, jadi merawat tubuh biar awet muda. Kaya artis Vanessa Rosa." Rin menjelaskan.

Selagi dua anak dan perempuan paruh baya itu berbincang, sebuah mobil terlihat meluncur pelan di jalanan bawah kebun, diikuti anak-anak kampung di belakangnya.

Tak lama berselang, seorang perempuan berbadan tambun, dengan ciput di kepala berlari sambil melambai dari kejauhan menghentikan canda tawa Mira dan kedua anaknya.

"Ceu! Ceu Mira! Itu ada tamu di rumah Eceu, nyariin dari tadi." Begitu sampai di hadapan Samira, perempuan bertubuh tambun itu memberitahu.

"Siapa, Ceu?" Mira berdiri sambil menautkan alis.

"Mana saya tahu atuh, Ceu."

"Eleuh ... ari si Eceu Santi, kenapa gak ditanya?" Mira bersiap-siap meninggalkan ladang.

*

Sesampainya di rumah yang dindingnya terbuat dari bambu, wajah tiga anak itu berubah masam melihat siapa yang bertandang.

Suaminya sudah pulang mengajar dan menemani dua orang tamu perempuan bercadar di ruang depan.

Usai membersihkan diri dengan terburu, Mira datang ke ruang depan langsung menyalami besannya itu lalu ikut berbasa-basi.

Perbincangan yang awalnya biasa saja, berubah menjadi tegang.

"Kalau Nak Rin bersabar, jaminannya surga, Bu." Ummu Hanif tersenyum, mencoba memberi pengertian pada sang besan perempuan.

Tak Semanis Madu (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang