Saat Rin dan Hamka hanya hidup berdua dalam rumah tangga.
"Adik ...." Hamka memasuki kamar, depan cermin besar perempuan yang sedang menyisir rambut, berlari tunggang langgang mencari jilbab, begitu mendengar suaranya, melemparkan sisir sembarangan.
"Dik, Adik ... saya suamimu." Hamka menahan tawa, berkata setengah berbisik. Barulah gadis itu berhenti, menghela napas. Jilbab hanya tergantung di tangannya. Sudah kesekian kali istrinya itu bertingkah demikian.
"Ada, apa ya Mas ... kalau masuk kamar itu ya ucapkan salam, ketuk pintu." Rin mulai mendumel, menjatuhkan tubuh di atas kasur sambil memegang dada, mungkin masuknya sang suami barusan, membuatnya kaget.
"Ini kamar Mas juga loh Dik." Hamka menghampirinya, hal yang paling pria itu sukai adalah rambut panjang sang istri jika tergerai, membuat istrinya itu cantik berkali lipat. "Waktunya makan Dik, jangan lama-lamaan dandannya. Nanti terlambat masuk kelas loh ... meskipun Anti menantu Babah, gak kan ngaruh."
"Apaan sih Mas." Rin cemberut. "Ini loh ... saya lagi ngerjain PR."
"PR apa, Dik?" Hamka ikutan duduk di atas kasur.
"Aku tak suka mati-matika Mas." Rin menjawab sambil nyengir.
"Ih kok sama sih." Ke duanya larut dalam gelak tawa, meskipun tak ada hal yang lucu.
***
Tengah malam Rin terbangun kaget, lalu semakin histeris kala melihat ada pria tidur di sampingnya, ia melemparkan bantal guling ke lelaki yang sedang terlelap dalam mimpi, tak lupa melayangkan tendangan maut khas perisai diri, sehingga pria itu pun terjatuh ke lantai.
Masih dalam posisi duduk sembari memegang dada, ia melihat pria itu bangun menggerang.
"Aduh ... Dik, saya suamimu."
Rin mengedip-ngedipkan mata lucu. "Mas .... Hamka?"
Hamka berdiri, berjalan gontai ke kamar mandi, hampir setiap malam Rin menendangnya tepat jam 2 dini hari. Setelah mengambil air wudlu pria itu duduk di atas sajadah sembari membaca Qur'an menunggui istrinya di belakang.
"Mas ... saya minta maaf ya, gak sengaja tau mas." Rin sudah lengkap memakai mukena berdiri di belakangnya.
"Ya ... Ya, Mas faham, mungkin kamu tak terbiasa dengan lelaki." Hamka menutup Qur'an nya. Meletakkan di atas nakas, kemudian berdiri untuk memimpin salat tahajud.
***
Di antara ilalang, Hamka mengayuh sepeda, sementara Rin duduk di jok belakang memeluk pinggangnya. Ia sedang silaturahim ke keluarga Rin di kampung. Di karenakan motor satu-satunya dipakai pak mertua pergi mengajar, Hamka pergi bersama istri menggunakan sepeda untuk belanja sayuran, tepat saat mentari pagi baru naik.
Di pasar, Rin begitu bersemangat memilih sayur-mayur.
"Pengantin baru, hay pengantin baru!" lagi-lagi perempuan tua berbadan gimbal memanggil Rin, Hamka memutar bola mata malas. Seperti dugaannya, hanya karena disebut pengantin baru, istrinya menghampiri lagi pedagang sayuran yang memanggilnya begitu.
"Ini bagus untuk pengantin baru, biar subur cepat dapat momongan." Ibu itu berujar menyerahkan tauge.
Pipi Hamka memerah melihat Rin begitu antusias menerima tauge itu sambil berujar," Beneran Bi, bakal langsung hamil?"
Dan si pedagang mengiyakan.
Bagaimana akan hamil, sementara Hamka tak boleh menyentuh Rin, ia menekan naluri alami karena diperingatkan Uminya. "Jangan mendekati Rin sampai lulus ya, Nak."
KAMU SEDANG MEMBACA
Tak Semanis Madu (Tamat)
Romance"Istri ke-dua suamimu sedang hamil dan mabuk, Nak Rin. Tak apa, ya, rumahmu ini untuk adik madumu, karena kamu pun belum punya anak." "Ya, Umi." Rin terpaksa mengangguk meskipun jiwanya gemuruh. "Nanti kalau adik madumu lahiran, sekalian bantu-bantu...