"Kenapa kamu, Fia?" Rin merangkul pundak Sofia yang tampak murung di meja bundar, taman sekolah.
"Ustadzah Hilma sakit Rin, dia kan pembimbing amaliah tadrisku. Siapa nanti yang ngasih penilaian kepadaku setelah aku praktek ngajar di kelas?" Sofia menjelaskan dengan suara pelan.
"Tugasmu udah diperiksa beliau, kan?" Rin memastikan dan Sofia mengangguk.
Bel masuk kelas berbunyi menggema ke seluruh lorong sekolah. Tim penilai dari satu angkatan memasuki kelas terlebih dahulu, menyebar di belakang dan pinggir bangku pelajar, sembari memegang papan dada berisikan kertas penilaian dan pena.
Sofia berdiri depan pintu kelas, menghela napas berulang kali, tetapi, tak juga mampu mengusir resah dalam hatinya, sebab guru pembimbingnya digantikan oleh Ummu Hanif yang disegani oleh orang-orang.
Begitu pelajar telah duduk rapih di bangku masing-masing, Sofia kembali menghela napas, lalu melangkah memasuki ruangan sambil tersenyum tipis.
Ia meletakan buku di atas meja kemudian berdiri di hadapan para siswi. Terlihat Rin memberikan semangat dengan isyarat di antara teman-teman, mengalirkan energi positif kepadanya.
"What's lesson today?"
"Today's lesson is ...."
Saat itu, dari balik kaca jendela berbingkai kayu, Rin melihat Ustadzah Hilma, dipapah dua orang asatdizah keluar dari area perempuan menuju sebuah mobil yang terparkir di halaman. Lama ia memandangi mobil tersebut hingga pertanyaan Sofia kepada salah satu siswi membuyarkan lamunannya.
Setelah melihat Ustadzah Hilma hari itu, Rin tak pernah lagi melihatnya cukup lama. Biasanya Ustadzah Hilma yang paling aktif di asrama putri, dia adalah asisten pengasuhan senior.
***
Isfia tiduran di pangkuan Hamka depan televisi, sedangkan Rin berkutat di dapur membuat makan malam untuk perempuan itu, bubur kacang hijau sesuai permintaan Isfia sendiri.
Isfia bilang, dirinya tidak mual jika memakan bubur. Padahal kandungannya telah memasuki enam bulan, masih saja perempuan itu beralasan mual.
"Dasar manja!" Rin mematikan kompor, ingin sekali dirinya menyiram dua sejoli yang terdengar sedang tertawa di ruang keluarga itu.
Usai menyiapkan makan malam, seperti biasa Rin akan mengurung diri di kamar, tempat ternyamannya. Gadis itu menyibukkan diri dengan persiapan Fathul kutub, sebagai salah satu persyaratan kelulusan pondok.
Selagi ia googling di laptop dan mencari referensi dari beberapa buku agama, terdengar samar obrolan dari luar kamar.
Rin tidak terlalu peduli, ia kembali larut ke dunia barunya. Namun pintu kamar terdengar diketuk berkali-kali diikuti suara Hamka.
"Ada apa, sih? saya udah siapin makan malammu dan kekasihmu." Rin berkata cukup kencang.
"Ada yang ingin bertemu denganmu, keluarlah." Hamka melengos pergi. Rin mengintip dari balik tirai, sepertinya ia tidak asing dengan para orang tua itu. Bergegas ia memakai jilbab dan keluar kamar.
Baru saja tiba di ruangan tamu ia terkejut ketika perempuan berjilbab labuh itu langsung memegang erat tangannya sembari berurai air mata.
"Tolong putriku Hilma, Nak, kamu pun tahu kalau Hilma sangat mencintai Hamka."
Rin sontak melirik ke arah Hamka yang tampak berwajah datar juga Isfia yang menatap bingung ke arahnya. Sedikit kaget ia mendengar penuturan ibunya Hilma tersebut, ternyata banyak yang ia tak ketahui dari suaminya itu.
Dengan gerakan pelan Rin membawa ibunya Hilma kembali duduk di kursi. "Apa yang bisa saya tolong, Bu?" tanyanya dengan suara lembut sambil tersenyum tipis.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tak Semanis Madu (Tamat)
Roman d'amour"Istri ke-dua suamimu sedang hamil dan mabuk, Nak Rin. Tak apa, ya, rumahmu ini untuk adik madumu, karena kamu pun belum punya anak." "Ya, Umi." Rin terpaksa mengangguk meskipun jiwanya gemuruh. "Nanti kalau adik madumu lahiran, sekalian bantu-bantu...