"Udah lulus, Kau?" tanya Adi yang baru pulang sekolah lalu duduk di atas pagar, Rin sedang menapik beras dan memilih gabah di antara beras tersebut lalu melemparkan ke arah ayam yang sedang mematuk serakan gabah di halaman.
"Belum," jawab Rin malas.
"Lagian kau tuh, ya, enakan sekolah di luar, bebas, sok sok-sokan mesantren segala, mending ngarit, deh, kau, ngasih makan kambing, lebih bermanfaat, Rasul pun melihara kambing."
"Idih gak nyambung, tahu apa sih kamu? sekolah di luar itu aku sering dibully." Rin memajukan bibirnya lalu melet pada adiknya.
"Iya! karena kamu cupu dan pendiam!" Riyadil tertawa lepas.
"Bisa diam gak kamu itu!" Rin menatap tajam Riyadil seraya menautkan alisnya. "Kalau gak diam juga tuh mulut aku sumpel pakai nih beras, mau?"
Riyadil menutup mulutnya sendiri, berusaha tak tertawa sambil menatap jenaka kakaknya.
"Masih tertawa juga aku beneran masukin nih gabah ke mulutmu!" ancam Rih bersiap meraup gabah dari teras.
Riyadil berdeham kencang lalu memalingkan muka ke arah lain, masih menahan tawanya.
"Betewe suamimu itu seganteng apa sih? Sampai kawin mulu, apakah dia casanova?" tanya Riyadil dengan sisa-sisa tawa di mulutnya. "Kambing aja kalah, Teh," lanjutnya lalu tawanya pecah lagi.
"Apa itu Casanova?" tanya Rin mengabaikan olok-olokan adiknya.
"Arjuna kalau di Indonesia, seperti BBF." jawab Riyadil sambil nyengir.
"Ngomong apaan, sih?" Rin sama sekali tak mengerti.
"Mungkin suamimu bukan Ustadz. Tapi Ustadz kw." Riyadil terkikik.
"Jaga ucapanmu itu, tak ada Ustadz kw, tahu apa kamu! Kamu kira seorang Ustadz itu malaikat apa? Dia juga manusia, punya napsu seperti kamu!"
"Setahu saya Ustadz gak gitu! Kyai Jajang misalkan."
"Setahumu, kan?!" Rin membentak. "Makanya! kalau mau tahu kehidupan pesantren, mesantren kau! Bisanya nyinyir aja, sih, atau sekalian jadi Ustadz, biar tahu rasa!" Rin emosi dan risih. "Ustadz dan kyai itu beda, udah sana, pergi! Ganti baju!"
"Eh, Teh, kamu masih ngidolain Vanessa Rosa, gak?" Kali ini Riyadil mengalihkan topik, melihat kakaknya berwajah murung, ia tak tega merundung terlalu jauh.
"Emangnya kenapa?" Rin mengernyit.
"Dia main film terbaru. Di bioskop akan tayang."
"O, yah. Apa filmnya?"
"Dia berperan jadi wanita cadaran dan terlibat dalam rumah tangga poligami kaya kamu." Riyadil tergelak lagi.
"Terlalu kamu, Dili, bukannya menghibur saya." Rin cemberut dan melanjutkan menapik beras.
"Sejak kapan kamu baperan gitu, Teh? Kamu, kan, orang tercuek, diomelin Emak pun, masuk telinga kanan keluar telinga kiri." Remaja itu menunjuk telinga kanannya lalu telinga kirinya kemudian tertawa lepas.
***
Mira mengajak putrinya belanja sayuran pagi-pagi ke pasar, setiap ibu-ibu yang berpapasan dengan mereka berdua selalu memuji kecantikan Rin.
"Eh, Neng, kapan pulang dari pondok?" tanya perempuan yang mengenakan jarik, kebaya dan selendang disampirkan di kepala, uban di rambut perempuan itu terlihat jelas, menandakan usianya tak muda lagi.
Rinad langsung menyalami perempuan tua itu, dia adalah istri kyai jajang, guru ngajinya sebelum berangkat ke pesantren modern.
"Dua hari yang lalu, Umi." Rin menjawab lembut sambil tersenyum tipis.
"Kenapa gak mampir ke kobong atuh, Neng, bantu Umi ngawuruk santri ngaji kitab kuning, si aa Hilman juga baru pulang mondok. Langsung ngajari barudak anu teu acan tiasa maca Qur'an."
Mira berdeham, sedari dulu ia enggan berurusan dengan keluarga Kyai tersebut. "Rin juga masih belajar, Umi. Belum tuntas mondok," sahutnya dengan suara lembut.
"Oh, begitu rupanya." Umi memerhatikan penampilan Rin sambil mengangguk.
Sebelum perbincangan berlanjut, Mira lengan menarik putrinya lalu berpamitan.
"Apa sih, Mah." Rin menarik tangannya, Mira terlalu kasar memegang lengannya.
"Mamah teh, teu resep kamu dideket-deketin sama jang Hilman, paham?" Mira jalan duluan. Rin geleng-geleng kepala, ia heran mengapa sang ibu tidak suka dengan keluarga kyai itu.
*
Sore menjelang, ada ketukan pintu diiringi suara salam. Wajah Mira datar ketika tahu siapa yang bertandang. Lelaki muda berpeci putih, mengenakan sarung juga koko, di belakangnya banyak para perempuan mengenakan jarik dan selendang di kepala.
"Ada apa Jang Hilman kemari?" Mira tersenyum lembut.
"Teman-teman Rin mau ketemu katanya, Bi, sono."
"Oh ... silakan masuk."
Rin duduk depan jendela kamar, membuka ponsel searching di google, artis Vanessa Rosa. Gambar terbaru muncul, wajah tirus bak boneka nan lembut itu membuatnya kagum. Terlepas dari pakaian seksi ala artis, Rin menyukai Nesa karena berkali-kali berperan sebagai tokoh utama di Film remaja sewaktu ia masih SMP di sekolah luar.
Wajah artis itu masih muda tak jauh beda dengan dulu, malah semakin cantik. Ia berniat mengajak Adi nonton di bioskop.
"Teh ... teman-temanmu dari pesantren datang." Adil melongok dari balik pintu.
"Wah masa?" Rin langsung loncat dari jendela, ia pun menahan diri, memakai kilat jilbab standar depan cermin, tak lupa memakai kaos kaki lalu menghampiri teman-temannya. Ruangan rumah yang semula sepi itu pun riuh oleh suara kejenakaan mereka.
"Ya Allah si eneng, meni sombong tos jadi orang kota mah," sindir salah satu dari mereka lalu diikuti deraian tawa teman-teman lainnya. Sedangkan Hilman duduk di bangku, menunggui di depan rumah ditemani Abah Rin, kepulan asap rokok menemani perbincangan dua orang lelaki berbeda usia itu.
Di balik pintu dapur, Mira termenung, mendekap nampan yang dipakai barusan untuk mengantar jamuan ke ruang tamu.
Dahulu saat Rin masih kecil seringkali bercanda Ria dengan teman sebayanya dari pesantren, di ruang TV sebelum berangkat mengaji. Sekarang, begitu cepat anak gadisnya itu dewasa. Gadis-gadis seumuran Rin di kampung memang sebagian telah menikah.
Tak bisa dipungkiri, ia merasa lega dan bahagia melihat dan mendengar putrinya dapat bercanda dan tertawa lagi, sedari datang dari pondok dua hari yang lalu, wajah Rin selalu murung.
*
Malam telah larut, Mira masuk ke dalam kamar putrinya, duduk di tepi ranjang, mengelus lembut kepala Rin.
"Maafin Emak, Nak, Emak sayang Rin, kemarin-kemarin, Emak hanya emosi." Air mata berjatuhan di pipi tirus perempuan kepala empat itu.
Setelah Ibunya pergi, Rin membuka mata lalu terisak pelan. Barusan ia hanya pura-pura tidur saat mendengar kenop pintu diputar dari luar. Setiap malam, Rin tak bisa larut dalam mimpi, bayang-bayang Hamka terus menghantui pikiran dan alam bawah sadarnya.
Ia tak terbiasa menjalani hari tanpa suara merdu tilawah tartil Al-Qur'an yang terdengar dari arah masjid raya pondok putra, menjelang subuh dan sore menyambut senja.
Percakapan bahasa asing para pelajar selalu terngiang dalam alam bawah sadarnya. Rin terkadang bangun tidur terkejut mendengar percakapan-percakapan bahasa asing itu dan mendapati itu tidak nyata. Lalu dirinya merindukan suara munadzomah yang meneriaki santriwati agar keluar kamar sebelum bel waktu berbunyi.
Ia merindukan suasana seperti demikian, terlebih senyuman Hamka, perlakuan baik dan lembut tutur katanya selalu membayangi pikirannya, menghadirkan nelangsa, mengingat pria itu bukan lagi miliknya seorang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tak Semanis Madu (Tamat)
Romance"Istri ke-dua suamimu sedang hamil dan mabuk, Nak Rin. Tak apa, ya, rumahmu ini untuk adik madumu, karena kamu pun belum punya anak." "Ya, Umi." Rin terpaksa mengangguk meskipun jiwanya gemuruh. "Nanti kalau adik madumu lahiran, sekalian bantu-bantu...