Bab 9

7.8K 410 61
                                    

Hamka memperlambat langkah, sengaja mengawasi Rin yang jauh melangkah di depannya.

Begitu sampai rumah, Rin melihat Hilma yang mengenakan gaun tipis duduk di sofa bertumpang kaki membaca majalah. Ia sebagai perempuan saja tergoda melihat penampilan seksi perempuan itu apalagi lelaki.

"Sayang! Udah pulang!" seru Hilma seraya tersenyum manja pada Hamka yang baru memasuki ruangan.

Melihat penampilan Hilma, Hamka malah berdiri terpaku dengan wajah pucat di belakang Rin.

Perempuan dengan gaun minim itu berjalan setengah berlari sembari tersenyum melewati Rin, langsung bergelayut manja di lehernya.

Rin menahan napas, matanya memerah. Ia malu untuk berbalik pergi atau menjambak rambut perempuan itu seperti sinetron drama rumah tangga yang pernah ditontonnya ketika liburan bersama teman-teman.

Ia pun menundukkan kepala, merasa minder dengan penampilan sendiri.

Saat itu, Isfia muncul dari balik pintu sambil mengelus-elus perut. Wajahnya khas orang baru bangun tidur.

Rin merasa panas kepala melihat semuanya. Ia menghela nafas lalu meneruskan langkah. Namun, tangannya digamit dari belakang, Hamka meraih pundaknya dan membalikkan badannya, pandangan keduanya pun bertemu.

"Ayo kita bicara." Hamka tersenyum tipis.

Rin hendak menarik lengannya sebab melihat kecemburuan berkilat di mata Hilma yang berdiri di belakang Hamka dirinya takut.

Di ruang tengah Hamka mengumpulkan ke tiga istrinya itu.

"Setelah ini dan selanjutnya saya akan mulai menggilir tidur, ya," tutur Hamka pelan. Selama ini dirinya seringkali tidur di asrama putra, membiarkan untuk sementara ke tiga perempuan itu dan pulang ke rumah setelah subuh.

Hamka melirik ke arah Rin yang terus menunduk, sedangkan Isfia dan Hilma selalu melemparkan tatapan mesra untuknya.

"Dan setelah Isya kita memulai kajian rutin keluarga," imbuh Hamka diiringi senyuman lembut. "Ada lagi yang mau dibicarakan?"

"Sayangku sekarang tidur di mana?" Isfia merajuk, mata Hilma langsung menajam mendengar suara manja istri kedua itu.

"Tidur sama saya aja, ya, Yank." Hilma pun lembut dan manja lalu melirik sinis ke arah Isfia.

Hamka menghela napas lalu berkata, "Saya tidur bersama Rin terlebih dahulu."

Sontak saja wajah Hilma dan Isfia berubah muram.

*

Hamka melepaskan kemeja lalu menyampirkan di kursi. Rin duduk di atas karpet memegang buku, masih mengenakan pakaian formal lengkap. Pria itu menghampirinya dan memegang pundaknya.

"Rajin sekali, baca buku mulu." Hamka tersenyum seraya mengusap kepala Rin gemas.

Tak kuasa lagi membendung perasaan sakitnya selama ini, buliran bening itu pun lolos di pipi Rin. Ia menepis tangan kanan Hamka lalu menutup wajahnya dan terisak kecil.

"Saya benci sama kamu! Saya benci." Hanya itu yang diucapkan Rin berulang-ulang.

Hamka memegang tangan Rin cukup lama lalu menurunkan dari wajahnya, ketika perempuan itu hendak menarik tangannya, Hamka mempererat genggaman.

"Maafkan saya, Dik, apa yang harus saya lakukan agar Adik bahagia?" Hamka mengangkat wajah Rin. "Seharusnya Dik Rin paling antusias di sini, Adik Rin adalah istri pertama saya."

Rin menunduk menatap kaos kaki yang belum sempat ia lepaskan. Jempol kaos kaki itu bolong.

***

Depan cermin, Rin menatap pantulan dirinya sambil mengingat bagaimana penampilan Isfia dan Hilma jika dalam rumah.

Dirinya tak ahli dalam merias wajah tak pandai memilih pakaian. Dulu, berpakaian rapih dan bersih saja baginya telah cukup. Apalagi jika keluar rumah hanya mengenakan potongan rok, atasan dan jilbab standar.

Ia meraih sebuah lipstik dari meja rias lalu mengoleskan ke bibir mungil merahnya setelahnya memberikan sentuhan pensil alis dan bedak ke wajahnya.

Rin terkikik geli melihat wajahnya sendiri setelah dirias tak jauh berbeda beda dengan badut.

Merasa cukup bosan Rin keluar ruangan dan melihat ruangan berantakan sekali. Ia menghela napas, para perempuan itu hanya akan beres-beres jika Hamka berada di rumah, hanya sekadar cari perhatian suaminya itu.

Ketika Rin membuka tudung saji, makanan yang terhidang di atas meja itu cukup menggugah selera. Masakan siapa lagi kalau bukan perlombaan antara Isfia dan Hilma. Dua perempuan itu tak mau lepas dari masakan, sebab Hamka langsung mencicipi.

Sambil menyapu lantai, Rin bersenandung shalawat dengan suara pelan. Ia baru menyadari, ternyata Hilma sedang duduk di halaman depan bersama Hamka. Mereka berdua sesekali terlihat tertawa.

Usai menyapu, dirinya pergi ke halaman belakang berniat mencuci pakaian dan menengok ikan-ikannya dan terkejut saat melihat Isfia terisak di teras sambil memegang perutnya sendiri. "Kamu lagi ngapain?" tanya Rin khawatir.

Isfia terkejut sebentar lalu kembali menekurkan pandangan. "Hilma jahat dia selalu menghinaku."

Rin mengembuskan napas kasar. "Kamu gak usah ambil hati, harusnya kamu lebih jahat dari dia, dia aja orang baru bisa lebih berani gitu."

"Dia bilang, Hamka hanya mencintai dia seorang, aku dan kamu dinikahi Hamka terpaksa."

Emosi semakin tersulut mendengarnya. Benar-benar tuh cewek! batinnya merutuk.

*

Ketika waktu makan siang, Rin bertemu dengan Hilma di dapur, mengingat perkataan Isfia tadi pagi, ia semakin gemas kepada perempuan tersebut.

"Anak sekolah belajar saja, tugas dapur adalah urusan orang dewasa." tutur Hilma menghentikan gerak tangan Rin menata piring di meja makan.

Rin pun menegakan punggungnya dan menatap balik perempuan itu.

Hilma melipat tangannya menatap teliti penampilan Rin dari bawah hingga ke atas. Rin hanya memakai kaos baby doll, celana selutut dan rambut dikuncir persis seperti anak kecil. Beda jauh dengan dirinya yang berwajah glowing mengenakan gaun tipis yang memperlihatkan lekuk tubuhnya yang semampai dan langsing .

Ditatap intens seperti demikian, Rin merasa minder. "Jaga kata-katamu itu, ya," sahut Rin.

"Kamu merasa minder dan tersinggung dengan penampilan sendiri, ya." Hilma menyibak ujung rambut curlynya. "Pantesan Hamka mau aja nikahin lampir Arab terutama saya, mungkin bosan melihat si cupu ini tiap hari."

Tangan Rin langsung mengepal dan matanya panas. Selama ini dirinya menahan lidah, sebab merasa segan dengan Hilma yang pernah menjadi kakak kelas sekaligus Murobbi. Lama-kelamaan ia jengah juga dengan prilaku wanita tersebut.

Saat itu, Hamka dan Isfia memasuki dapur, Rin membalikkan badan berjalan setengah berlari sampai menabrak bahu Hamka.

"Ada apa lagi?" tanya Hamka mengerutkan kening kepada Hilma.

"Tau tuh, abege labil mang emosian!" Hilma menyahut acuh lantas menarik kursi kemudian duduk bersiap makan.

Tanpa diduga, Rin kembali lagi menenteng ember. Belum sempat Hamka bertanya untuk apa air dalam ember itu Rin langsung menyiramkan air dalam ember ke atas kepala Hilma, sontak saja perempuan itu menjerit histeris sambil berdiri dengan tangan mengangkat ke atas.

"Bangga kamu dengan penampilanmu yang hanya rombakan." Rin mundur sembari mengulas senyuman miring. "Oh iya, itu air pembuangan dari wc kita, air comberan, seperti mulutmu yang comberan." Rin melepaskan ember sembarangan sehingga menimbulkan suara gaduh di lantai.

"Sayang! lihat kelakuan istri tuamu!" Hilma tak terima, menghentakkan kaki, menunjuk-nunjuk ke arah Rin yang pergi.

Isfia menahan tawa, begitu Hilma menoleh ke arahnya ia langsung pura-pura mengambil piring.

Hamka menghela napas, geleng-geleng kepala.

Tak Semanis Madu (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang