Perhatian orang-orang termasuk keluarga tertuju pada kondisi Isfia dan janinnya. Rin yang merasa bersalah dan cemas, mengemasi sebagian pakaiannya ke dalam tas ransel waktu itu.
Ia berjalan dengan kepala tertunduk merasa diawasi dan diintimidasi oleh setiap orang yang melihatnya sepanjang perjalanan.
Di kamar kelas akhir, Rin tak melihat Sofia hanya beberapa teman yang kurang dekat dengannya, hanya menganggap sebatas teman sekelas. Dirinya dan Sofia dekat pun, sebab dulu saat masih kelas sebelas ke bawah, Sofia merupakan mantan keamanan yang selalu aktif bertugas bersamanya.
"Aleksa, Sofia ke mana?" tanya Rin.
Gadis blasteran Australia-Rusia berambut pirang itu berhenti menyisir rambut Aneu, mengalihkan pandangan padanya. "I don't know." Ia mengangkat sebelah tangan. "May be, takes a bath."
"Nanti malam aku yang ngisi diskusi, kamu yang jadi moderator!" Aneu tersenyum lebar mengangkat jempol ke arah Rin.
"Aku?" Rin menunjuk dirinya sendiri.
"Tentu saja, persiapkan dirimu, ya!"
Sofia memasuki ruangan, handuk tersampir di leher siswi beriris mata hijau itu. Melihat Rin datang, ia berjalan cepat menghampiri Rin dan menggamit lengan Rin menjauhi teman-temannya.
"Benarkah berita itu? kamu dorong istri Hamka yang hamil?" Bahkan Sofia pun ikut percaya.
Rin tak menjawab, ia menatap ke dalam iris mata hijau Sofia melihat pantulan wajah resahnya di sana. "Fi ... saya mau pergi dulu, nanti kabari kalau ada apa-apa."
"Jangan bilang kamu mau kabur, karena telah melakukan kejahatan?" Kelopak mata Sofia melebar lalu menatap waspada sekeliling khawatir ada yang mendengar apa yang barusan Rin katakan.
"Aku tidak akan lama, nanti juga balik ke sini."
"Tapi, kamu udah ijin ke Hamka?" Gadis Pakistan itu semakin resah saja.
"Kabur, kok ijin." Dengan entengnya Rin berkata.
"Kabur lagi?" Sofia menepuk jidatnya sendiri. "Aku ogah diintogerasi pengasuhan lagi, takut aku!" Dulu waktu Rin kabur menyusul Hamka ke Qatar, ia yang ditanyai jajaran pengasuh, sebab satu-satunya teman dekat Rin.
"Sebenarnya aku mau bilang ke Hamka, melihat apa yang terjadi ... sepertinya ia takkan peduli." Rin menunduk, wajahnya sendu, menatap dengan mata berkaca, kepada dua sepatu lusuhnya.
"Sofia! Kamu piket cuci piring, ya, cepetan cuci! Bentar lagi makan!" Rubiya berteriak dari teras belakang.
"Iya cerewet!" Sofia mengabaikan gadis itu dan pokus lagi ke Rin.
"Hati-hati, ya, btw aku percaya, kok. Sahabatku tak mungkin mendorong bumil, kecuali bumil itu nyerang kamu. Dan kamu mungkin terpaksa." Gadis beriris mata hijau itu mengambil tangan Rin dan menepuk-nepuknya.
Rin tersenyum kecut lalu mengangguk dan membalikkan badan, mulai berjalan ke luar kamar, menggunakan masker. Sebab jalan keluar pesantren melewati gerbang wilayah pelajar putra.
Sofia mengantarnya hanya sampai halaman asrama santriwati, khawatir dilihat oleh santriwati lainnya terutama pengurus.
Sepanjang perjalan pulang, dalam bis, Rin diam, menatap kosong rinai hujan yang mulai turun di luar.
*
"Mah! si teteh pulang dari Asrama." Riyadil meneriaki perempuan paruh baya yang sedang bercocok tanam di belakang rumah.
Begitu melihat ibunya datang dari belakang rumah, sontak saja Rin menangis.
"Sudah Emak bilang dari dulu, Emak tidak setuju Rinad menikah dengan anak direktur itu. Tapi kamu itu terlalu pendek pikiran! Emak udah nasihatin berulang kali, kerasa sama kamu sekarang, hah!" Mira mengomel dengan nada tinggi sambil mengipas-ngipas leher memerahnya dengan topi lusuh. Tubuhnya mandi keringat, sengatan terik mentari, tercetak jelas di wajahnya yang merah. "Sekarang kamu mau ngapain ke sini! Bukannya rumahmu di sana?!"
"Rin gak punya rumah." Rin menyahut lemah, menekurkan pandangan, sesak sekali rasanya.
"Kalau nyadar, buat apa kamu nikah sama Ustadz? Ustadz itu tukang kawin, nyaho ayena siamah, karasa tah!" (baru tahu kan sekarang kamu, rasain!)
Ayah Rin memasuki ruangan, tersenyum begitu melihat keberadaan Rin, langsung merangkul dan membawa duduk anak perempuannya itu. "Kamu pulang, Neng."
"Gak usah nyapa dia! Pusing kepala ini mikirin nasib si Rinad ini, capek-capek disekolahin malah kawin gak benar, sekolah belum selesai!"
"Rin gak tahu bakal jadi begini." Rin kembali menyahut.
"Makanya! papatah kolot teh dengekeun! (Nasihat orang tua dengerin!)" Mira membentak. "Ayeunamah sateh cerai we sama si Hamka itu, buat apa dipertahanin!" (Sekarang kamu cerai saja sama si Hamka!)
"Sudah bu! Sudah!" Bapak menepis tangan istrinya, yang terus nunjuk Rin. "Ibu mau anak kita jadi janda? Janda itu rendah di mata masyarakat. Cerai-cerai! mang nikah kaya kucing apa? Gampang cerai! Mbok ya apa-apa disikapi dengan kepala dingin." Bapak berbicara sembari mengeratkan gigi.
"Kamu lagi! Jadi suami asal nyerahin anak ke mereka! Menunjukan betapa kita orang tak punya, lihat anakmu direndahkan! Dia pesantren pun bayar perbulan satu juta lebih!" Mira mengambil jeda, ke dua matanya mulai berkaca. "Anakmu dicanung (Dimadu) pak! Pak! Kok kamu kalem aja!"
"Bapak bisa apa Buk! Sudah tenang dulu! Rinad baru datang, bukannya disuguhi air atau apa."
Rin melangkah ke dalam kamar, menaruh tas, Abah dan mamah masih terdengar adu mulut di luar.
Ia pun terisak, sembari memeluk lutut sendiri, merasa bersalah pada orang tuanya dan diri sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tak Semanis Madu (Tamat)
Romance"Istri ke-dua suamimu sedang hamil dan mabuk, Nak Rin. Tak apa, ya, rumahmu ini untuk adik madumu, karena kamu pun belum punya anak." "Ya, Umi." Rin terpaksa mengangguk meskipun jiwanya gemuruh. "Nanti kalau adik madumu lahiran, sekalian bantu-bantu...