Cahaya langit semakin meredup, tetapi Isfia tak juga sadarkan diri. Dengan sabar Rin merawat perempuan itu, mengompres keningnya dan menyuapkan sesendok demi sesendok tonik herbal ke bibir puca-tnya atas arahan paraji yang datang memeriksa kondisi Isfia.
"Tak usah khawatir, psikologisnya terganggu, perlu waktu untuk hati berdamai dengan keadaan. In sya Allah membaik dari hari ke hari," jelas paraji berjilbab hitam itu tadi pagi.
Sementara Hamka tak ada di rumah, lelaki itu berbulan madu dengan Hilma delapan hari ke luar kota. Ditelpon pun lelaki itu tak menjawab terkadang tak aktif, padahal Rin hanya ingin mengabari kalau Isfia terus saja mengigau menyebut namanya.
Rin berdiri membawa baskom berisi air bekas kompresan, tiba-tiba saja Isfia memegang lengan bawahnya. Pucat sekali wajah perempuan itu.
"Kamu sudah siuman?" Rin merasa lega. Tak sia-sia tenaganya terbuang untuk merawat sang adik madu.
"Terima kasih, ya." Isfia menyahut lemah, Rin mengangguk lantas keluar dari kamar.
*
Perasaan yang tak nyaman, membawa kaki Rin berjalan ke asrama putri. Ia melihat koridor asrama dipenuhi para santriwati yang berlarian seraya membawa piring di tangan masing-masing menuju ruang makan.
Buliran bening mengalir di pipi Rin, segera dirinya menyeka air mata dengan ujung jilbab.
Jauh di relung hatinya, ia merasa menyesal telah begitu ceroboh mengambil keputusan, menikah dengan putra pertama pimpinan hanya karena terobsesi oleh ketampanan dan kecerdasan lelaki itu.
Ia memasuki kamar kelas akhir, teman-teman yang terlihat bercanda langsung bungkam begitu melihatnya.
"Eh ...Ukhty Rin." Ada dari sebagian mereka membubarkan diri dan tetap bercanda meskipun dengan bisikan.
"Boleh aku tidur lagi di kamar ini? Menikmati kebersamaan bersama kalian, kan bentar lagi kita lulus." Rin berkata sambil tersenyum kecil.
Mereka berhamburan ke arah Rin. "Boleh dong, Ukhti sayang! ini, kan, kamar kita bersama!" Para remaja itu saling memandang lalu tertawa bersama.
Usai salat Isya, para pelajar memenuhi teras dan halaman, belajar malam dibimbing pengurus dari kalangan pelajar kelas sembilan. Sedangkan Rin dan teman-teman berjibaku dengan tumpukan buku untuk mempersiapkan Fathul kutub.
Beres belajar, mereka mengeluarkan laptop lalu menonton kartun, Rin ikutan nimbrung. Asyik juga jika masa muda dinikmati seperti mereka, tertawa tanpa beban. Menyadari kehidupan apa yang dijalaninya saat ini, Rin kembali termenung.
"Eh, Rin." Sofia menepuk bahu Rin, lantas membisiki sesuatu.
"Sultan?" Rin mengernyit, Sofia menarik tangannya menjauh dari teman-teman.
"Iya Rin, Sultan udah daftar kuliah ke salah satu Universitas di Mesir, aku juga mau daftar. Tapi aku bodoh." Sofia terkikik. "Kalau kamu, kayaknya bakal lolos dengan beasiswa, deh."
"Aku udah menikah," Rin menyahut tak bersemangat. Sofia menjawil dagunya dan mengedipkan sebelah mata.
"Sultan diam-diam masih suka ngomongin kamu ke adik kelas, loh."
"Kok tahu?" Dahi Rin mengernyit.
"Tahu lah, wong adik laki-lakiku ada di pondok putra."
Rin termenung, terbayang sekilas wajah Sultan, tanpa sadar bibirnya mengulas senyuman.
"Astagfirullah Rin, kamu udah bersuami." Sofia berkata setengah berbisik, buru-buru Rin mengusir bayangan wajah itu.
***
Malam hari, karena tidak bisa tidur, Rin memutuskan untuk mengecek keadaan Isfia, ia berjalan sendirian melewati gerbang hingga akhirnya sampai di rumah.
Sayup-sayup terdengar tangisan seseorang, begitu ia membuka pintu suatu kamar, Isfia berada di atas sajadah menengadahkan tangan, dengan wajah tertunduk. Air mata Rin mengalir turut merasakan beban jiwa perempuan itu lalu dengan gerakan pelan dirinya menutup kembali pintu.
*
Hamka pulang seminggu kemudian bersama Hilma, pria itu langsung duduk di sofa membentangkan tangan dan minta dibuatkan air hangat.
Hilma dan Isfia pun berlomba pergi ke dapur, sedangkan Hamka telah merebahkan diri di sofa, wajahnya terlihat letih, beda sekali dengan wajah Hilma yang tampak sumringah sedari awal tiba.
Kalau bukan karena haus, Rin malas keluar kamar. Ia melihat Isfia dan Hilma berdiri berdampingan depan kompor merebus air, Rin duduk di kursi meneguk air minum perlahan sambil memerhatikan dengan geli tingkah pola dua perempuan dewasa itu.
"Kamu istirahat saja, biar saya saja yang bikinin air untuk Hamka. Kamu kan baru bulan madu, jadi tentunya letih, setelah bertempur delapan hari berturut-turut."
Itu suara Isfia. Nada suaranya ketus dan ada tekanan di setiap kata-katanya.
Hilma tertawa sumbang. "Seharusnya kamu yang istirahat Bumil, kalau kecapean nanti kamu pura-pura sakit-sakitan lagi, aslinya ingin diperhatikan Hamka."
Isfia memukul pelan meja sambil menatap tajam Hilma, dan Hilma balik menatap tajam perempuan itu sembari menaikkan satu alis.
Air yang direbus ke dua perempuan itu pun bergolak, buru-buru Hilma memindahkan ke ember, begitu pun dengan Isfia. dua orang perempuan itu berjalan saling mendahului menuju Hamka yang rebahan di ruang tengah.
Hilma memijit-mijit kepala Hamka dengan lembut, sedangkan Isfia memijit-mijit kaki lelaki itu. Hamka mengerang kecil sambil menggeliat lantas membuka mata. Ia tersenyum tipis lantas mengusap dua kepala istrinya tersebut.
Saat itu pandangan Hamka teralihkan pada Rin yang melewatinya dengan wajah datar.
Begitu berhasil menutup pintu, Rin memegang dadanya yang terasa sesak. Bergegas ia membereskan barang-barang, tak sanggup rasanya tinggal bersama dengan mereka.
Dirinya hanyalah gadis lugu yang tak begitu mengerti bersikap depan suami, apalagi suami yang beristri banyak macam Hamka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tak Semanis Madu (Tamat)
Romance"Istri ke-dua suamimu sedang hamil dan mabuk, Nak Rin. Tak apa, ya, rumahmu ini untuk adik madumu, karena kamu pun belum punya anak." "Ya, Umi." Rin terpaksa mengangguk meskipun jiwanya gemuruh. "Nanti kalau adik madumu lahiran, sekalian bantu-bantu...