Aku memiliki teman. Walaupun bisa di katakan dia lebih memiliki karakter sebagai kakak di hidupku maupun di sekolah.
Namanya Kania. Kelas dua belas di sekolahku. Sementara aku adik kelasnya. Kami sering jalan berdua. Hubungan kami juga sangat dekat. Hingga Akupun lupa jika dia bukan saudaraku.
Entah kenapa, tiba-tiba dia keluar sekolah sebelum lulus. Itu agak membuatku kesal dengannya. Tapi dia bilang, kami akan tetap bersama. Apa yang Ia katakan waktu itu cukup membuatku bingung. Kalimatnya dan nada bicaranya seperti sebuah hal yang menyeramkan. Antara peringatan atau sebuah ancaman.
Sudah empatpuluh hari semenjak mamaku meninggal karena kecelakaan mobil. Dan sudah satu minggu sejak keluarnya kak Kania dari sekolah.
Aku mencari teman baru. Tapi sepertinya jarang yang mau berhubungan sebagai teman dekatku. Yang aku punya sebagai teman hanya beberapa orang.
Beni adalah seorang youtuber. Kelas sebelah yang aktif sekali membuat konten. Dan satu lagi temanku. Namanya Sekar Arum. Tapi lebih sering di panggil dengan nama Sekrum. Teman sekelasku yang aktif di bidang ekskul cheerleader.
Soal pelajaran jangan di tanya pada kedua temanku itu. Karena diantara mereka tidak ada yang mengerti pelajaran apapun. Tapi diantara semua mata pelajaran, hanya bahasa inggrislah yang mereka kuasai dengan baik.
Hari ini kami sedang tidak bersama. Sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Begitulah pertemanan kami.
Sepulang sekolah aku pergi ke cafe. Papaku hendak memberitahuku sesuatu. Penting katanya.
Ku pesan minuman yang ada di daftar menu. Menunggu papaku Di sebuah meja. Memainkan handfone di tangan.
"Div?"
Kepalaku mendongak. "Kak Kania?"
"Kamu Disini?"
"Iya. Kak Kania Disini juga? Kebetulan banget. Kak Kania aku kangen."Aku menarik lengan Kak Kania. Menyuruhnya duduk di kursi sampingku. Langsung ku taruh kepalaku di bahu kak Kania. "Aku nggak punya temen kayak kak Kania."
"Lha si Beni? Sama Sekrum?"
"Mereka pada sibuk sendiri."
Saat aku bangun kak Kania saling mengeluh, papaku tiba di depan cafe dengan mobilnya.
Dengan jas hitamnya dan rambut rapi, ia masuk. Duduk di depanku.
"Hal penting apa sih pa?" Tanyaku masih bersandar di bahu kak Kania.
Papaku mengeluarkan sesuatu dari balik jasnya. Menaruhnya di meja. Papaku jarang sekali berbasa-basi. Perasaanku tidak enak. Aku diam seribu kata. Melihat undangan di samping handfoneku.
Posisi badanku tegak. Membuka surat undangan. Mataku makin membesar. Memandang kak Kania tidak percaya.
"Kalian bakal nikah? Minggu depan?" Seruku terkejut.
"Terlalu lama?" Tanya papaku.
"Gua nggak setuju. Bisa-bisanya kak Kania."
"Kamu nggak seneng aku Jadi mamamu?" Tanyanya.
"pa, mama baru meninggal 40 Hari yang lalu. Sekarang, papa mau nikah? Dan itu sama dia? Dan lo kak Kania. Bisa-bisanya lo ngelakuin itu sama sama gua. "
Aku membanting undangan itu. Meraih tasku yang tergeletak di kursi yang lain. Keluar dari cafe.
"Apaan coba maksudnya. Diantara semua cowo kenapa kak Kania harus milih papa gua? Dan papa gua, ngapain juga cari istri lagi. Baru juga mama meninggal."
Aku tidak sedih. Tapi aku kesal dengan kak Kania. Dasar kampret.
Hari pernikahan papaku dan kak Kania tetap berlangsung tanpa persetujuanku sekalipun. Dengan drees putih dan rambut tertata rapi. Aku duduk di belakang papaku yang berhadapan dengan penghulu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mie Instan
RandomMie instan itu penolong. Saat tanggal tua, Ia siap mengenyangkan perut. Saat lapar tiba-tiba dan makanan belum tersaji, ia juga siap dengan instannya waktu. Tapi Bukan hanya itu. Ada cerita dan memori indah yang pernah dilewati setiap orang Saat me...