TUJUH

1.3K 77 2
                                    

Pulang dari kedai ice cream, Dethan langsung mengantar Chika kembali kerumahnya. Hari ini Dethan dan Chika merasakan kebahagian tersendiri. Bahagia memiliki kawan baru, bahagia-makan ice cream berdua, dan banyak kebahagiaan lainnya.

"Dethan." Chika duduk dibangku belakang vespa Dethan, tanpa melingkarkan tangan di pinggang cowok berkacamata bulat.

"Iya. Kenapa, Chika?" Dethan meninggikan volume suaranya agar cewek yang duduk dijok belakang mampu mendengar suaranya.

"Besok kita makan ice crem lagi, ya. Aku masih kepingin ice crem-nya tadi tau." Tidak berbeda dengan Dethan, Chika pun juga sama-meninggikan volume suaranya.

"Siap deh, siap. Besok kita kesana lagi." Ujar Dethan menyetujui ajakan Cewek berambut kepang, dibelakang.

"Tapi, besok giliran aku yang traktir."

"Terserah kamu, deh."

"Yeay! Makasih Dethan." Saking senangnya, spontan Chika memeluk Dethan dari belakang. Tetapi itu hanya terjadi dalam waktu singkat.

Tidak membutuhkan waktu lama, akhirnya motor Dethan sampai juga ditempat tujuan pertama. Yaitu rumah Chika.

"Makasih ya, Dethan." Ucap Chika setelah menuruni motor Vespa cowok berkaca mata bulat, yang tak lain ialah teman barunya.

Dethan tersenyum lebar. "Iya, sama-sama." Jawabnya. "Besok pagi berangkat sekolah sama aku mau, nggak?" Tawar Dethan.

"Boleh." Jawab Chika, antusias.

"Yaudah, kalau gitu aku pamit pulang dulu ya." Pamit Dethan, sebelum pergi meninggalkan rumah Chika.

Chika mengangguk kecil. "Hati-hati, ya." Ucapnya melambaikan tangan kearah Dethan. "Dadahhhh."

"Dahhh." Dethan menyempatkan, membalas lambaian tangan teman perempuannya.

Batang hidung Dethan tidak terlihat lagi, Chika membuka pintu gerbang langsung masuk kedalam rumah. "Assalamualaikum." Sudah menjadi kebiasaan Chika, ada atau tidaknya orang didalam rumah. Chika selalu mengucapkan salam sebelum masuk.

Chika melangkah masuk menuju kamarnya dilantai atas. Tetapi ketika ia melewati meja makan, sisa pecahan piring dan juga nasi goreng tadi pagi-masih seperti keadaan tadi pagi. Tidak ada yang membersihkan.

Tak perlu berganti baju, Chika meletakkan tasnya diatas kursi lalu merapikan sisa-sisa kotoran dan juga beling hingga bersih tanpa ada sekucil beling yang tersisa.

Sebelum meninggalkan dapur, Chika mencuci tangan dahulu baru kemudian menaiki tangga-menuju kamarnya.

Chika bukan tipe-tipe perempuan yang suka bermalas-malasan. Tidak langsung ambruk diatas kasur, Chika membersihkan diri baru akhirnya terjun diatas tempat tidur-untuk mengistirahatkan badannya sebentar.

Chika merebahkan badan sambil menatap langit-langit kamar barunya, ia merasakan hidupnya berubah seratus delapan puluh derajat-setelah menikah dengan Gilang.

Dulu, sepulang sekolah Chika akan disambut oleh sang mama. Sekarang, tak ada siapapun yang menyambutnya. Ketika masih bersama orangtuanya, Chika akan menyatap makanan tanpa harus memasak dahulu. Sedangkan untuk saat ini, Chika harus menjadi perempuan yang mandiri.

Chika menghela nafas berat. "Chika harus kuat! Harus!" Ujarnya, menyemangati diri sendiri.

"Kalaupun nanti Chika menyerah, itupun suatu keberuntungan kak Gilang." Gumam Chika, tersenyum kecut.

Tak mau terlarut dalam keterpurukan, Chika bangkit-meninggalkan kamar lalu menuju dapur untuk memasak makan malamnya.

Sibuk berperang dengan peratalatan dapur, Chika sampai tak sadar oleh kepulangan Gilang yang tak sendirian.
"Hay." Chika tersentak kaget oleh sapaan Nataline, yang menghampirinya didapur.

GILANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang