SEBELAS

1.1K 64 1
                                    

Seharian ini, Gilang tidak memilih singgah dirumah. Katanya rumah merupakan istana kita, tempat paling nyaman ialah rumah. Tetapi tidak bagi Gilang, tempat ternyaman saat ini adalah warung bu Minah. Bukan rumahnya.

Sehabis ba'da dhuhur, warung bi Minah mendadak ramai karena kedatangan siswa yang bolos sekolah pada siang hari.

Dan setelah kedatangan teman-teman yang lain, Sakti memilih undur diri untuk melaksanakan tidur siangnya. Cowok itu tidur dibangku panjang, dengan kepala bertandaskan jaket lalu matanya ditutupi menggungakan lengan tangannya.

“Si kebo, kalau udah tidur mah anteng.” Ujar Arya, duduk di bangku sebelah kursi Sakti yang tempati tidur. Cowok itu dengan iseng, memainkan rambut Sakti.

Fathur mengarahkan pandangannya, melihat Sakti—tertidur nyenyak meskipun rambutnya dibuat mainan Arya. “Dia kalau tidur kaya patung. Diam, nggak berubah posisi sedikitpun.” Sahutnya.

“Gue kadang heran sama dia. Gue kalau tidur dikursi aja suka jatuh, sedangkan dia gitu-gitu aja. Nggak pernah jatuh.” Heran Nabid. Memang betul adanya, jika Sakti tidak pernah terjatuh dari kursi ketika sedang tidur. Hebat bukan, Sakti?

“Mungkin dia ngoles lem dulu sebelum di tidurin.” Celetuk Fauzi, sambil meminum es teh pesanannya.

Erfan melempar kulit kacang ke arah Fauzi. “Tumben, lo pinter.”

Fauzi menggedikkan bahu. “Nggak tau, tanya nih otak gue.”

Gilang menggelengkan kepala, ternyata teman-temannya tidak ada yang bener sama sekali. Palingan yang rada bener otaknya, hanya Farres dan Erfan. Erfan pun, kadang-kadang suka konslet sendiri.

Gilang bangkit dari bangku, menyambar jaket lalu memakainya. “Mau kemana, lang?” Tanya Nabid, duduk disebelah Gilang.

“Balik.” Gilang menjawab singkat, sambil meraih kunci motornya.

“Setengah empat, guys. Waktunya penumpang langganan, pulang.” Celetuk Ilham pura-pura sibuk bermain game di hpnya.

Rico dan yang lain serempak, bersorak 'oh' bersamaan. Tanda mereka tau maksud perkataan Ilham.

“Bacot lo semua.” Gilang pergi begitu saja, mengambil motornya.

“Semoga cepet sadar ya, lang.” Seru Arya, membuat teman-temannya mengernyit bingung atas arti ucapan Arya.

Gilang tak mengindahkan perkataan Arya, cowok itu segera menjalankan motornya meninggalkan warung bu Minah. Tujuannya saat ini adalah sekolahnya sendiri. Benar seperti dugaan Ilham, Gilang datang ke sma Anuerta guna menjemput kekasihnya.

Tidak membutuhkan waktu lama untuk menunggu, sosok yang telah dinantikan Gilang—sudah ada dihadapannya. “Kok kamu bolos sekolah lagi, sih?” Pertanyaan itu lah, yang menjadi sapaan pertemuan mereka.

Gilang menghela nafas berat, ia sudah menduga Nataline akan memarahinya habis-habisan. Lewat telfon saja sudah marah-marah, apalagi bertemu langsung. Bisa bertambah tingkat kemarahan cewek itu.

“Maaf, sayang. Tadi aku bangun-nya kesiangan.” Tutur Gilang sesuai dengan kenyataan. Sebuah fakta, Gilang bolos sekolah karena bangun kesiangan. Terlalu nyaman mungkin, tidur Gilang pagi itu.

Nataline berdecak sebal, mimik mukanya pun tidak jauh dari ekspresi kesal. “Kesiangan terus, kesiangan terus! Kapan sih, kamu bangun tepat waktu.” Ocehnya, tidak malu suaranya di dengar banyak orang.

Gilang menggaruk tengkuk. “Udah kebiasaan, sayang. Susah di aturnya.” Cicitnya, serasa sedang dimarahi mamanya.

“Makanya, mulai sekarang diatur. Pasang Alarm pukul setengah enam pagi!” Perintah Nataline, diangguki Gilang.

GILANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang