DUA PULUH TUJUH

922 72 14
                                    

Chika sudah bersiap menggunakan seragam sekolahnya. Waktu masih menunjukkan pukul enam pagi. Mengambil tas sekolah, cewek berambut kepang dua itu keluar dari kamar.

Menuruni anak tangga, Chika mendengar suara orang memasak dari dapur. Siapa kah, yang memasak? Tidak mungkin Gilang kan?

Lagi masak apa, sayang?” Chika spontan berhenti ditengah tangga, mendengar teguran suara cowok yang sepertinya pemilik suara itu ialah Gilang.

Nasi goreng.” Sepertinya Chika tidak asing dengan suara perempuan itu. Nataline. Ya, sepertinya pemilik suara perempuan tadi adalah Nataline.

Chika melanjutkan jalannya dengan perasaan berkecamuk. Nataline datang kerumahnya? Oh, mungkin Gilang dan Nataline sudah berbaikan.

Berhenti seketika, Chika terdiam mematung melihat pemandangan dimana Gilang sedang memeluk Nataline dari belakang. Sesak. Ya, Chika merasakan dadanya seperti tertindih batu besar. Sakit sekali.

“E-Eh, ada Chika.” Nataline tersenyum lebar melihat kedatangan Chika, cewek itu tidak berusaha menyingkirkan tangan Gilang dari perutnya.

Tersadar, Chika tersenyum tipis membalas sapaan Nataline. Cewek berkepang dua, meletakkan tas kemudian berjalan—mengambil air minum didalam kulkas—tanpa mempedulikan kemesraan Gilang dan Nataline.

Menuangkan air kedalam gelas, Chika mengambil sebungkus roti lalu membawa gelas ke meja makan. Cewek itu menyantap sarapan paginya dengan nikmat.

“Chika mau nasi gorengnya, nggak?” Tawar Nataline kepada Chika.

“N-Nggak usah, udah makan roti soalnya.” Balas Chika sambil tersenyum tipis.

Tak lama kemudian, Nataline dan Gilang ikut bergabung dimeja makan bersama Chika.

Diam-diam, Chika memperhatikan Gilang yang akan memakan nasi goreng Nataline. Cowok itu tampak kebingungan ingin memakannya atau tidak. Chika tahu, Gilang tidak suka nasi goreng. Tetapi Chika hanya bersikap tidak peduli.

“Kenapa nggak dimakan, sayang?” Nataline menoleh kesamping, melihat Gilang dari tadi hanya mengaduk-aduk nasi gorengnya. “Nggak suka, ya.”

“S-Suka, kok.” Gilang tersenyum manis ke arah Nataline. “Semua yang kamu buat, aku suka.”

Nataline tersenyum lega. “Kirain kamu nggak suka.” Tuturnya. “Yaudah, dimakan! Takut terlambat kesekolah.”

Gilang mengangguk, ia mulai menyendokan nasi goreng kedalam mulutnya. Berada disebrang, Chika memerhatikan ekspresi Gilang—seperti ingin muntah karena tidak menyukai makanan itu. Chika sendiri bergedik ngeri, melihat nasi goreng buatan Nataline yang terlalu banyak minyak.

Baru tiga suapan, perut Gilang rasanya seperti dikocok—tidak sanggup memakan lagi nasi goreng buatan Nataline.

“Hoek!” Menutup mulutnya, Gilang berlari kebelakang—memuntahkan makanan yang baru saja masuk kedalam perutnya.

Panik, Nataline bangkit—menyusul Gilang ke belakang. “Sayang, kamu nggak papa?” Tanyanya, mengusap pelan punggung Gilang.

Usai mengeluarkan makanan dari dalam perut, tenaga Gilang rasanya sangat lemas. Cowok itu bersandar tembok, sambil mengusap keningnya kasar.

“Kamu nggak papa?” Tanya Nataline panik.

Gilang menggeleng lemah. “Enggak.”

“Terus kenapa kamu muntah? Masakan aku nggak enak, ya?” Ujar Nataline cemberut.

“Enggak, sayang. Masakan buatan kamu enak, kok.” Gilang mengelak, memberi alasan yang pas agar pacarnya itu tidak kecewa. “Aku muntah, mungkin karena aku nggak terbiasa sarapan yang berat-berat aja.”

GILANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang