TUJUH BELAS

1.1K 77 1
                                    

Gilang mengajak Raka pulang ketika waktu menunjukkan pukul tiga sore. Awalnya bocah tiga tahun itu tidak mau diajak pulang karena masih ingin bermain dengan teman-teman Gilang.

Diwarung Bumin, Raka sempat tertidur karena ikut baringan bersama teman-teman Gilang. Tadi siang mereka menggelar tikar dibawah pohon mangga yang cukup besar, angin semilir-semilir, membuat tak banyak dari mereka tertidur.

Usai mengatarkan Raka pulang, Gilang langsung menjalankan motor menuju rumahnya. Sudah mengunci pintu garasi, Gilang masuk kedalam rumah—melangkah menuju kamarnya.

Membuang asal jaketnya, Gilang beranjak menuju kamar mandi—mengguyur tubuhnya dengan air dingin agar lebih segar.

Sedangkan dilain ruangan, Chika mencoret-coret buku gambar berukuran besar menggunakan pensil birunya. Cewek itu sangat menyukai menggambar, segala sesuatu Chika ungkapkan dengan sebuah gambaran.

Capek rebahan seharian dan membuat kepalanya tambah pusing, Chika menyibukkan diri dengan menggambar. Dari TK kecil, Chika sudah sangat suka menggambar. Apalagi jika menggambar matahari, Chika sangat suka matahari.

Disetiap gambaran yang dibuat Chika, selalu terselip gambar matahari. Menurut Chika matahari itu cahaya kehidupan. Dan Chika yakin, suatu saat nanti ia menemukan cahaya terang kehidupannya. Disitulah letak kebahagiaan Chika.

Ceklek!

Mendengar suara pintu terbuka, spontan Chika menutup buku gambarnya. Ia tidak suka gambarannya dilihat orang lain. Ibarat buku diary—segala keluh-kesahnya, Chika tuangkan dalam gambaran.

“Lo nggak masak?”

Chika menggeleng, menjawab pertanyaan Gilang. Hari ini, badan Chika tidak mau diajak kompromi hingga membuat dirinya malas memasak. Mau-nya berada diatas kasur, tetapi terlalu lama dikasur membuat kepalanya pusing.

Gilang berdecak sebal. “Ck, ngapain aja lo seharian?”

Chika menunduk takut, ia tak berani menatap wajah Gilang. Cowok itu terlalu menakutkan menurut Chika.

“Gue mau beli makan, lo mau nggak?” Tidak ada angin dan hujan, tiba-tiba Gilang menawarkan makan kepada Chika.

Sedangkan Chika, merasa tidak enak akhirnya menolak tawaran dari Gilang. Lebih baik ia makan seadanya dirumah dari pada menitip makanan kepada Gilang. Chika terlalu takut melakukan itu.

“Yaudah kalau nggak mau.” Gilang pergi—menutup pintu kamar Chika lumayan kencang.

Melihat kepergian Gilang, Chika menghela nafas panjang sambil mengusap dadanya.

“Nanti aja deh, masak mie kalau Gilang udah pergi.” Seperti biasanya, setiap malam minggu, Gilang tak pernah absen keluar rumah. Cowok itu akan pergi sehabis isya dan pulang tengah malam.

Kalau boleh jujur, sebenarnya Chika sudah sangat lapar. Dari tadi pagi, Chika hanya memakan roti yang ada didalam kulkas. Setelahnya ia tidak memakan apapun.

Ting Tong!

Lamunan Chika terbuyar, mendengar bel rumahnya berbunyi. Yang artinya diluar rumah terdapat tamu. Segera Chika beranjak turun—membukakan pintu. Namun baru selesai menuruni anak tangga, Chika mendengar suara tangisan anak kecil—begitu kencang.

Ting Tong!

“Ya, sebentar.” Teriak Chika, meskipun suaranya tidak begitu kencang.

Chika menarik gagang pintu, melihatkan seorang perempuan berseragam babysister dengan anak laki-laki digendongannya.

“Mohon maaf, cari siapa ya?” Tanya Chika lembut.

“HUAAAAA, ABANG DILANGGG!” Anak laki-laki yang ternyata adalah Raka, menangis kencang sambil merentangkan kedua tangan—minta digendong Chika.

GILANGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang