8. Percaya

1.7K 131 2
                                    

Alsava menghempaskan tubuhnya di atas kasur. Ia merasa sangat lelah hari ini.

Ia melirik jam di dinding, pukul enam lebih dua puluh menit. Ia berusaha memejamkan matanya.

Tok... Tok... Tok....

Pintu kamar Alsava diketuk dari luar. Ia membuka matanya dan menatap pintu kamarnya yang terus diketuk. Ia beranjak dari tempat tidur dan berjalan ke arah pintu.

"Kenapa, Tan?" tanya Alsava saat sudah membuka pintu.

"Ada teman kamu dibawah."

"Julian?"

"Bukan, cewek," ucap Rina sambil tersenyum. "Ada yang mau temenan sama kamu ternyata, bagus kalo begitu, Sava."

"Oh, oke." Alsava lantas berjalan menapaki anak tangga menuju ke bawah.

Ara. Ia sedang tersenyum kepada Alsava. "Hai, Va!"

Alsava hanya menatapnya datar, kemudian ikut duduk di sofa.

"Ngapain lo ke sini?" tanya Alsava langsung.

"Ya... mau main lah, emang nggak boleh main ke rumah temen sendiri." Ara tersenyum lebar. "Ayo jalan, Va. Pake mobil aku, oke?"

Alsava mengerutkan keningnya sambil memutar bola matanya. "Gue males. Em... keliling kompleks aja gimana?"

Ara tersenyum lebar sambil menganggukkan kepalanya. "Oke!"

"Tante! Aku mau jalan-jalan dulu sebentar," ucap Alsava dari ruang tamu.

"Iya." Rina menjawab dari arah dapur.

Alsava dan Ara pun berjalan ke luar rumah, tidak lupa Alsava membawa skateboard-nya. Itu adalah yang terpenting.

Malam semakin gelap, angin berhembus pelan menerpa wajah dua orang cewek yang sedang berjalan menyusuri jalanan.

Alsava melirik Ara dari samping. Wajahnya sangat ceria, rambutnya berkibar saat angin berhembus. Terbesit rasa nyaman saat bersama Ara. Apakah ia sudah bisa menerima Ara sebagi teman? Ia tidak pernah meraskan ini sebelumnya selama tiga tahun ini.

Ara yang merasa diperhatikan, menoleh ke samping. Dan benar saja, saat ini Alsava sedang menatapnya.

"Kamu ngapain lihatin aku kayak gitu?" Ara mengerutkan keningnya.

"Nggak papa," jawab Alsava singkat, lalu mengalihkan pandangannya ke depan.

"Sava..."

"Hem...."

Ara bingung harus bagaimana, rasanya mulutnya tidak bisa dibuka hanya untuk sekedar bertanya kepada Alsava.

Alsava menoleh. "Ada apa?"

"Nggak papa." Akhirnya Ara memilih untuk diam.

"Lo mau tanya tentang diri gue?" tanya Alsava sambil duduk di bangku taman. Kini mereka sedang ada di taman kompleks.

Ara terkejut, bagaimana Alsava bisa tahu apa yang ada di pikirannya? Apa Alsava bisa membaca pikiran orang?

"Gue nggak bisa baca pikiran orang, tapi gue tau pasti apa yang lo pikirin tentang gue."

"Eh."

"Waktu pertama kali gue sekolah, gue nggak punya temen. Bukannya nggak ada yang mau temenan sama gue, tapi gue yang nggak mau sama mereka. Gue dulu pendiem orangnya."

"Kenapa? Pasti ada alasannya kan?" tanya Ara menatap Alsava serius. "Pantes aja mereka kayak kaget gitu waktu kamu ngomong."

"Iya. Masa lalu gue adalah alasan yang membuat gue seperti sekarang, dan salah satu dari masa lalu itu adalah pengkhianatan sahabat gue dari kecil. Dia adalah hal pertama yang bikin hidup gue hancur. Makanya gue nggak pernah percaya yang namanya teman," ucap Alsava sambil terus memandang lurus ke depan.

AlsavaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang