20. Terbuka Dan Percaya

1.3K 96 10
                                    

Alsava memilih duduk di bangku yang ada di taman belakang sekolah. Ia menyandarkan punggungnya di sandaran bangku itu.

Tiba-tiba, Alsava tersenyum smirk. Ia teringat percakapan singkatnya dengan Sena tadi. Ia yakin Sena pasti sangat penasaran siapa dirinya. Tangannya mengepal kuat. Bayangan masa lalu seketika terlintas dalam benaknya. Membuat perasaannya kembali sakit jika mengingatnya.

"Anak nggak berguna! Kamu hamil?!" bentak Felix sambil menjambak rambut Alsava kuat.

Alsava memekik tertahan. "Enggak, Pa...."

"Terus ini apa, hem? Kenapa bisa ada di kamar kamu kalo ini bukan punya kamu?!!" ucap Felix sambil mengangkat tangannya yang memegang test pack.

"Itu bukan punya aku, Pa...," ucap Alsava lirih, masih menangis. Ia berharap ibunya dan adiknya datang saat ini juga. Tapi itu percuma.

"Mau jadi apa kamu? Masih SMP sudah jadi kayak gini, hem?!"

"Pa... aku...."

Plak!!!!

Alsava menggelengkan kepalanya agar ingatan itu hilang dari pikirannya. Hatinya pedih jika mengingat semua itu.

"Nyawa harus dibayar nyawa, Sena. Lo baru ngerasain kehilangan adik lo, setelah ini nyokap lo bakalan nyusul. Itu belum seberapa setelah apa yang lo lakuin ke gue." Alsava semakin mengepalkan tangannya kuat. Matanya terasa panas. "Lo juga penyebab meninggalnya Mama dan adik gue yang paling gue sayangi. Lo adalah awal dari kehancuran hidup gue. Lo yang buat gue berubah seratus delapan puluh derajat kayak gini. Gue pastiin lo bakalan nyesel."

Tanpa sepengetahuan Alsava, ternyata Julian mendengarkan semuanya. Ia berdiri tidak jauh dari Alsava. Julian memang sengaja mengikuti Alsava yang ia pikir akan ke kantin. Tapi ternyata ke taman belakang sekolah.

Julian benar-benar terkejut saat mendengar semua yang dikatakan Alsava. Apa itu artinya Alsava akan membunuh orang lagi? Ini tidak bisa dibiarkan.

"Sava," panggil Julian seraya berjalan menghampiri Alsava.

Alsava menoleh dan seketika tatapannya tajam menghunus kepada Julian. Tapi Julian tetap santai dan kini langsung duduk di samping Alsava.

Alsava mendengus. "Lo denger kan pasti?"

"Iya. Kenapa?"

"Lo bisa nggak sih sekali aja nggak usah ngikutin gue atau ngusik gue? Lo kan katanya ketua tim basket, latihan kek, apa kek."

"Nggak ada jadwal latihan," jawabnya santai. Kemudian tatapannya menatap Alsava serius.

"Berhenti ngelakuin hal bodoh, Sava. Itu cuma buat hidup lo sia-sia. Dendam nggak akan ada habisnya. Oke?"

"Nggak usah ikut campur!"

"Gue harus ikut campur karena gue peduli sama lo."

Alsava menatap lekat mata Julian. Ia dapat melihat keseriusan di sana. "Peduli apa lo sama gue?! Kita kenal belum genap dua bulan. Cih!"

"Gue peduli sama orang nggak lihat seberapa lama gue kenal orang itu."

"Gue orang jahat, dan lo nggak usah peduli sama orang jahat kayak gue ini." Alsava memalingkan wajahnya

"Gue tau lo sebenarnya baik. Cuma itu semua tertutup sama dendam lo."

Alsava terdiam, ia tidak membalas ucapan Julian. Entah kenapa? Baru kali ini ada seorang cowok seperti Julian. Julian adalah cowok kedua yang bisa sedekat ini dengannya. Walaupun Alsava tidak pernah menganggapnya, Julian selalu sama. Ia seperti... sabar. Dua kata untuk mendeskripsikan seorang Julian, Pantang Menyerah!

AlsavaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang