26. Papa

1.3K 85 5
                                    

Sena berjalan menyusuri koridor. Matanya terasa panas saat ia mendengar bisikan-bisikan yang membuat telinganya panas.

"Eh, masa iya dia pernah hamil dulu?"

"Iya. Lo lihat sendiri kan kemarin Sava ngomong apa. Nggak mungkin bohong."

"Murahan banget ya...."

"Jadi dulu dia sahabatan sama Sava? Gak nyangka ya...."

"Masih punya muka dia masuk sekolah hari ini?"

"Anak baru tapi ternyata, dibalik sikap sok baiknya dia itu anak nggak bener."

"Haha... Eh, Sena! Beneran lo dulu hamil tapi lo gugurin?"

Dan masih banyak lagi cemooh-cemooh yang diberikan para murid untuk Sena. Tapi Sena berusaha untuk tidak peduli. Ia terus melangkah ke depan dengan kepala tegak. Jangan sampai ia menangis. Kemarin adalah aksi terbodoh dan terakhir kalinya ia lakukan. Sebentar lagi ia akan lulus dan terbebas dengan semua rasa sakit ini.

Tapi bagaimana dengan nasib ibunya. Ia tahu bahwa Alsava tidak main-main dengan ucapannya. Ia bisa melihat sendiri dari pancaran mata Alsava yang penuh amarah itu.

Sena memasuki kelas dengan helaan napas pelan. Ia yakin, teman sekelasnya pasti akan membicarakannya juga. Oh Tuhan. Ia harus banyak bersabar. Ya, karena ia sudah menjelaskan semuanya kepada ayah Alsava. Walaupun terlambat. Dan semoga saja kemarin adalah terakhir kalinya ia berurusan dengan Alsava.

*****

"Sava ke mana ya? Dia nggak masuk," ujar Ara dengan lesu saat duduk di samping Rian. Bersama dengan Julian dan Aksa juga.

"Mungkin gara-gara kemarin," jawab Rian sambil bangkit dari duduknya. "Aku pesen dulu. Kalian tunggu aja."

Mereka hanya mengangguk. Julian sibuk dengan pikirannya sendiri. Alsava ke mana? Kenapa tidak masuk sekolah? Dan masih banyak lainnya pertanyaan yang muncul. Di benaknya hanya muncul wajah Alsava. Sebenarnya apa yang terjadi?

Julian bangkit dari duduknya. "Gue ke kelas duluan."

"Lah, kok?" Aksa melongo sambil menatap punggung Julian yang mulai menjauh.

Ara hanya menaikkan sebelah alisnya. Apa karena Sava?

"Loh, Julian ke mana?" tanya Rian sambil menaruh nampan di meja.

"Ke kelas katanya. Nggak tau mukanya masam banget." Aksa terkekeh sambil mengambil mangkok baksonya.

"Paling Sava," tebak Rian, membuat Ara menoleh.

"Iya! Aku juga ngira gitu."

"Nanti ke kafe, gimana?" ujar Rian disela-sela suapan sendok berisi pentol.

"Ayo!" Ara paling semangat kali ini.

"Semangat banget kayaknya," ucap Rian sambil mengelus kepala Ara sekilas.

Aksa mendengus. "Hem... berasa dunia milik berdua kayaknya...."

Ara dan Rian hanya tertawa renyah. Kemudian melanjutkan kembali makannya.

*****

Alsava dan ketiga sahabatnya memasuki kafe. Masih pukul setengah lima sore. Mereka memilih tempat duduk yang masih kosong. Setelah itu memesan minuman.

Baru saja pesanan mereka datang, Alsava menoleh karena panggilan seseorang.

"Sava!" teriak Ara mendekati meja Alsava.

"Hem...."

"Kok kamu nggak sekolah, kenapa?" tanya Ara saat sudah duduk di samping Alsava tapi meja yang berbeda.

AlsavaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang