Semua orang yang ada di bangku penonton dibuat takjub dengan pemandangan di depan mereka. Melihat Alsava berjalan ditepi dengan membawa skateboard-nya. Berjalan ke depan dengan wajah datarnya.
Alsava berpenampilan yang membuatnya semakin takjub. Bahkan bisa dikatakan bahwa Alsava saat ini seperti tidak memakai celana, karena pendek dan tertutup bajunya. Berbagai macam gelang yang melingkar di kedua tangannya. Apalagi tato bergambar kepala tengkorak di paha belakangnya, begitu menyita perhatian penonton. Mereka semakin riuh bersorak-sorak.
Julian yang sudah berada di bangku penonton pun dibuat terkejut sekaligus takjub dengan penampilan Alsava. Ternyata ia masih mempunyai tato lagi? Sungguh tidak menyangka. Dan sekarang Alsava menunjukkannya di depan umum?
Alsava berjalan menghampiri ketiga sahabatnya yang sedang berbicara dengan Roni dan temannya. Alsava langsung ber-hige five dengan ketiga sahabatnya.
Roni menatap Alsava dari atas sampai bawah. Ia tersenyum tipis lalu mengulurkan tangannya kepada Alsava. "Hei. Gue Roni."
Alsava menjabat tangan Roni dengan wajah datarnya. "Lo nantangin gue?"
"Iya. Cuma pingin coba-coba sih. Banyak banget kayaknya yang suka sama lo."
"Gimana kalo dua lawan dua."
"Oke," balas Roni. "Ini cuma buat main-main doang kok."
Alsava tersenyum mengejek. "Thur, lo sama gue."
Arthur mengangguk. "Oke."
"Lo bisa akrobatik?" tanya Alsava membuat Roni terkejut.
"Sedikit sih." Roni menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Gue kok ngerasa nggak enak gini ya sama nih cewek.
"Ayo!" Alsava dan Arthur langsung meluncur ke tengah-tengah area. Diikuti oleh Roni dan temannya.
*****
"Ngapain sih Julian nyuruh kita ke tempat ini?" Aksa berkata dengan emosi.
"Nggak tau tuh bocah. Dia share lock alamat ini kok. Itu mobilnya." Rian menunjuk mobil berwarna merah.
"Eh, tunggu... itu mobil Sava," ucap Ara menunjuk mobil berwarna biru yang ia sangat yakin punya Alsava.
Aksa, Rian, dan Manda menoleh ke arah yang ditunjuk Ara. Dan mereka melotot.
"Jangan bohong lo!" ucap Aksa tidak percaya.
"Kamu serius? Itu mobilnya Sava?" tanya Rian juga tidak percaya.
"Serius! Cepet deh kita cari Julian. Pasti Julian ngikutin Sava deh," ucap Ara.
Sedangkan, Manda hanya diam saja. Karena yang ia kenal cuma Rian dan Aksa, pacarnya. Karena mereka tidak satu SMA.
"Ayo Manda sama aku." Ara langsung menarik tangan Manda dan menggandengnya. Berjalan mendahului kedua cowok mereka. Ara sangat mudah beradaptasi dengan Manda, karena memang ia sangat mudah bergaul, ceria, dan asyik untuk menjadi teman.
"Itu Julian duduk paling pinggir," ucap Aksa. Membuat ketiganya menoleh.
Mereka pun langsung menghampiri Julian.
"Woi! Kenapa malah ke tempat ini? Tapi rame juga ya. Asyik sih," ujar Rian menilai tempat ini.
"Ada Sava, Jul?" tanya Ara langsung.
"Ada, tuh. Makanya gue ngikutin dia tadi. Bener dugaan gue kalo Sava pasti kesini. Dia kayaknya battle tuh."
Mereka langsung menolehkan kepalanya dan benar-benar terkejut. Mata mereka juga menangkap tato di paha belakang Alsava.
"Sava tatoan ya...," ucap Rian masih menatap Alsava yang sedang melompat.
"Sava kayaknya udah berani nunjukkin siapa dia deh." Ara tersenyum sambil memandang Alsava.
"Kamu udah tau emangnya?" tanya Rian menatap Ara.
"Kalo yang di paha itu nggak tau. Aku taunya yang di tulang selangka sama di pundak," jawab Ara membuat mereka semua menoleh, kecuali Julian karena ia sudah tahu.
"Gila! Nggak nyangka gue," ujar Aksa. Ia lalu duduk di samping Manda. Ada Ara di sampingnya. Dan ada Rian yang baru saja duduk.
"Sava emang nggak bisa ditebak. Misterius memang." Rian lalu menoleh kepada Julian yang diam memandang Alsava. "Lo nggak terkejut gitu Jul? Kan selama ini lo kayak penasaran banget tuh sama dia."
"Gue udah tau, sama kayak Ara."
Mereka kembali menoleh. "Lo kenapa nggak bilang sih. Memang ya..." Rian memicingkan matanya.
Julian tersenyum. "Udah deh fokus nonton aja. Habis ini ke kafe deh, gue traktir. Gimana?"
"SETUJU!!!" jawab mereka serempak.
Julian hanya tersenyum.
Mereka pun menonton sampai selesai. Alsava memang sangat hebat menurut mereka.
"Ayo kesana, guys!" ajak Ara sangat antusias. "Itu udah selesai."
"Ayo lah," kata Julian berdiri dari tempat duduknya. Ketiganya pun mengikuti."
*****
Alsava menjabat tangan Roni.
"Lo memang hebat." Roni melepaskan jabatan tangan Alsava.
Alsava hanya tersenyum miring. Saat ia menoleh, ia terkejut melihat Julian, Ara, Rian, Aksa dan cewek yang ia tidak tahu namanya sedang berjalan menghampirinya.
Sial! Alsava menatap tajam Julian. Tapi Julian hanya tersenyum.
"Hai, Va! Kok gak bilang sih kamu kesini? Kan aku mau Va kalo diajak kesini," ucap Ara saat sudah berdiri di depan Alsava.
Alsava hanya mengangkat bahu, membuat Ara mendengus. Selalu saja sikapnya seperti itu.
"Thur, Jar, Don, ayo pergi!" Alsava lalu menepuk pelan pundak Ara. "Gue duluan."
Setelah itu, Alsava, Arthur, Ganjar, dan Doni pergi dari tempat itu. Tidak lama kemudian, yang lain juga mengikuti di belakang Alsava. Hendak menuju ke parkiran.
"Gila ya! Itu beneran Sava bawa mobil kayak gitu? Gak nyangka gue." Aksa masih memandang ke empat mobil dengan jenis yang sama melaju di jalanan. Warnanya saja yang beda, ada dua warna biru dan dua warna merah.
"Iya, ya. Kenapa nggak dibawa aja ke sekolah? Keren banget tuh," timpal Rian. "Udah guys! Ayo ke kafe!"
Mereka hanya mengangguk, lalu menaiki mobil mereka.
*****
"Prinsip gue, nyawa harus dibayar nyawa! Lo tau, yang lo lakuin dua tahun lalu bakalan gue bales, kapan pun itu. Lo yang hancurin hidup gue dan buat gue pisah sama orangtua gue!"
Perkataan Alsava sangat mengganggu pikirannya. Sena terus teringat dengan jelas setiap kata yang keluat dari mulut Alsava. Sangat serius! Apa yang harus ia lakukan sekarang? Sena khawatir dengan ibunya saat ini. Kata 'nyawa' sangat jelas itu mengarah pada ibu dan adiknya. Karena ibu dan adiknya Alsava yang dulu meninggal.
Sena membasuh wajahnya dengan air di dalam kamar mandinya. Ia lalu menatap pantulan wajahnya di cermin besar di depannya.
"Lo emang jahat Sena! Lo yang buat salah, tapi sahabat lo yang kena. Bahkan sampai dia diusir gara-gara fitnahan lo." Sena tersenyum miris sambil mengelus perut ratanya. "Maafin Bunda gak bisa biarin kamu hidup dulu."
Tanpa terasa air mata Sena menetes jika kembali mengingat saat ia menggugurkan kandungannya sebelum ujian nasional dilaksanakan dulu waktu SMP. Tepatnya setelah pulang dari rumah Alsava. Juga setelah memfitnah Alsava.
"Maafin gue, Va... Gue emang bodoh. Kenapa gue lampiasin emosi gue ke nyokap sama adik lo? Gue waktu itu emosi karena lo berusaha biat kasih tau Mama gue soal kehamilan gue. Tapi untungnya Mama gue bisa percaya. Maafin gue, Va... maaf..." Air mata Sena semakin meluruh.
"Kini gue nyesel, Va. Gue nyesel!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Alsava
Teen FictionAlsava. Seorang skaters handal. Gadis dengan sejuta rahasia di dalam hidupnya. Cuek, dingin, tidak peduli dengan orang sekitar, teman satu-satunya hanya skateboard yang selalu dia bawa ke mana-mana. Tidak ada yang tahu rahasia dalam hidup Alsava yan...