11. Malam Minggu

1.5K 117 7
                                    

Alsava memutar bola matanya malas. Di depannya saat ini ada Ara yang sedang mengobrol dengan Julian.

Alsava sebenarnya tidak mau mengajak Julian ikut makan bersama mereka, tapi Ara memaksanya dengan alasan agar bertambah ramai. Tiga orang ramai katanya? Yang benar saja.

Alsava hanya mengaduk-aduk gelas minumannya. Makananny sudah habis dari tadi. Sekarang masih pukul delapan malam, tidak mungkin ia mengajak Ara pulang karena malam ini malam minggu.

"Sava, lo ngelamunin apa sih?" tanya Julian mengalihkan pandangannya kepada Alsva.

Alsava hanya menatapnya datar. Ia sangat muak dengan wajah Julian.

"Woi, kawan-kawanku!" teriak Aksa dari jauh, ia datang bersama Rian. Ya, Julian yang menyuruh mereka menghampirinya yang sedang makan lesehan di pinggir jalan.

Alsava semakin kesal dengan Julian. Bahkan Julian tidak memberitahunya jika mengajak teman-temannya itu. Dasar!

"Alsava, ayo naik kincir angin itu." Ara menunjuk ke pasar malam yang berada di seberang tempat mereka makan.

Alsava hanya diam, kemudian melangkah menuju ke area pasar malam itu. Ara langsung mengikutinya.

"Ayo ikut," ucap Aksa merangkul kedua bahu sahabatnya. Mereka berjalan di belakang Alsava dan Ara.

Julian dan Rian hanya tersenyum miring.

"Lo aja yang naik, gue mau ke toilet dulu."

"Oke."

"Eh, Ara! Kita ikut, yuk Yan ikut naik." Aksa menarik lengan Rian dan membawanya masuk ke kincir angin tersebut bersama Ara.

Ara yang sangat senang dengan permainan itu, terus tersenyum tiada henti.

Alsava melirik Julian tajam sambil memutar bola matanya malas. Mulutnya berdecak pelan, lalu berbalik meninggalkan Julian. Entah akan ke mana ia.

Julian dengan cepat menyusul Alsava. Ia mencekal tangannya. "Alsava."

"Apa?!" sentak Alsava sambil menghempaskan tangan Julian dengan kasar.

"Lo kenapa sih, salah gue apa sama lo sampe lo kayak benci banget sama gue. Gue cuma pengin jadi temen lo, tapi gue nggak tau kenapa sikap lo kayak gini sam gue, Va. Jelasin sama gue apa salah gue sama lo."

"Salah lo karena lo terus-terusan gangguin gue. Gue nggak butuh lo semua, saat ini gue berusaha buat percaya sama Ara. Itu aja, oke?"

"Dari tadi lo cuekin gue terus, Va. Kenapa? Gue nggak niat buat gangguin lo, malah selama ini gue nggak pernah merasa gangguin lo."

"Gue tadi nggak mau ngajak lo, cuma Ara maksa. Gue muak tau gak sama lo! Gue benci! Lebih baik habis ini lo jauh-jauh dari gue." Alsava menatap tajam Julian.

Julian mengepalkan tangannya. "Gue cuma mau jadi temen lo."

"Gue nggak mau, dan gue nggak butuh!"

"Lo egois!"

"Iya, gue egois! Kenapa?!"

"Segitu egoisnya lo sama orang yang peduli sama lo. Segitu egoisnya lo nggak mau semua orang tau siapa lo. Segitu egoisnya lo nyia-nyiain orang yang ada di sekitar lo. Gue tau ada banyak hal yang lo sembunyiin dari semua orang kan?"

Alsava tersenyum miring. "Tau apa lo tentang gue!"

"Nggak semua, tapi gue tau beberapa hal. Gue semakin ngerti kalo sikap lo sebenarnya jauh berbeda dari yang selama ini lo tunjukkin ke orang-orang." Julian tersenyum tipis.

"Selama ini lo diem, cuek, dingin, jarang, bahkan nggak pernah ngomong itu cuma buat nutupin sesuatu kan?" lanjut Julian, membuat Alsava terkejut.

Alsava diam saja. Ia menormalkan kembali wajahnya yang tadi terkejut, menjadi kembali datar.

Tapi sayangnya, Julian menyadari hal itu. "Gue tau lo kaget, apa yang gue bilang bener kan?"

Alsava membalikkan badannya dan melangkah pergi. Ia sudah sangat emosi. Jika tidak, bisa saja ia sudah memukul Julian habis-habisan.

"Gue nggak tau pasti, tapi gue tau lo ngejalanin hidup yang berat saat ini."

Ucapan Julian membuat langkah Alsava berhenti, hatinya terasa berdesir saat mendengarkan ucapan Julian yang memang sangat benar. Baru kali ini ia bertemu dengan orang yang sangat tahu kondisinya, padahal mereka baru saja kenal.

Jantungnya berdetak kencang, ia memejamkan matanya sejenak. Kemudian kembali melangkahkan kakinya. Ia tidak menoleh ke belakang.

Ara :
Kamu di mana? Aku udah turun ini.

Alsava membaca pesan itu sekilas, lalu membalasnya.

Alsava :
Gue tunggu di pintu ke luar, gue mau pulang.

Ara :
Kok pulang? Ya udah deh, aku ke sana. Tungguin.

Alsava memasukkan ponselnya ke dalam sakunya. Matanya menerawang jauh ke depan. Ucapan Julian masih terngiang di telinganya.

Gue nggak tau pasti, tapi gue tau lo ngejalanin hidup yang berat saat ini.

Gue nggak tau pasti, tapi gue tau lo ngejalanin hidup yang berat saat ini.

Gue nggak tau pasti, tapi gue tau lo ngejalanin hidup yang berat saat ini.

*****

Sepulang dari pasar malam dua jam yang lalu, Julian tidak bisa memejamkan matanya. Ia terus teringat kepada Alsava.

Ia juga bingung, kenapa Alsav sangat membencinya? Menggangu? Julian bahkan tidak pernah terlintas dalam benaknya untuk gangguin Alsava atau mempermainkannya. Ia hanya tulus kepada Alsava. Ia berusaha untuk dekat dengan Alsava, itu saja.

Julian juga semakin penasran, seperti apa Alsav sebenarnya. Ia ingin tahu lebih jauh tentang hidup Alsava.

Diamnya Alsava tadi sudah memberikan jawaban bahwa apa yang diucapkannya memang benar. Ya, Alsava menjalani hidup yang berat.

*****

"Sava...," panggil Ara lirih di balik selimut tebal yang menutupi tubuhnya. Di sampingnya, Alsava masih membuka matanya sambil menatap langit-langit kamarnya.

"Hem...."

"Tadi aku nggak sengaja lihat foto kamu di laci meja belajar kamu."

Alsava menoleh, ia menatap tajam Ara. Berani-beraninya Ara menggeledah kamarnya.

"Lancang!"

"Maaf, aku penasaran. Soalnya lacinya kebuka sedikit tadi."

Alsava menghembuskan napas pelan. "Ya udah, cuma foto doang."

"Tapi... aku mau tanya sama kamu." Ara menatap Alsava takut-takut.

"Apa?"

"Di belakang foto itu ada tulisan 'Alsaba B', maksudnya apa? Itu kepanjangan nama kamu?"

Alsava sedikit tersentak. Ia menghela napas kasar. Toh, pada akhirnya semuanya akan terbongkar. Cepat atau lambat.

"'B', itu kepanjangan nama gue dari nama belakang bokap gue. Tapi bagi gue, nama gue cuma Alsava doang. Dulu gue kasih tulisan gitu pas gue belum sepenuhnya berubah."

AlsavaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang