"APA?!!!!!!"
Suara Felix menggema di ruang keluarga rumah Rina. Sekitar pukul tiga sore. Setelah mendengar cerita dari Rina tentang Alsava di sekolah tadi.
"Dua minggu? Di skors? Ya ampun, Alva... kok bisa sih. Kamu bisa kan gak pake dengan kekerasan?" tanya Felix lebih lembut.
Alsava mendongak. "Maaf."
"Ya sudah, Papa maafin kamu. Papa nggak berhak marah sama kamu, karena selama ini Papa nggak pernah merhatiin kamu. Maafin Papa ya..." Felix mendekatkan tubuhnya lalu memeluk Alsava.
Alsava memejamkan matanya, ia terasa sangat nyaman di dalam pelukan ayahnya yang sudah lama tidak ia dapatkan.
Revan dan Rina hanya memandang mereka dengan senyuman yang mengembang. Senang sekali rasanya melihat anak dan ayah yang sudah kembali bersatu.
"Jadi, tadi Papa sudah berdiskusi dengan Tantemu. Kamu, Tante, dan Revan akan pindah di rumah Papa. Rumah kamu juga. Oke? Kamu mau kan?" tanya Felix saat sudah melerai pelukannya.
Mata Alsava membelalak. "Kok gak bilang?"
"Ini udah dibilangin." Felix terkekeh.
"Ih!"
"Ya udah, kita siap-siap. Papa udah nyewa orang untuk bantu kita. Jadi nanti malam kita langsung pindah."
"Oke."
*****
Saat ini Felix telah sampai di rumahnya. Ya, Felix membawa Alsava, Revan, dan Rina untuk pindah ke rumahnya. Karena Felix ingin seperti dulu saat bersama keluarganya. Walaupun istri dan anak keduanya sudah tidak ada. Ia akan tetap berbahagia bersama Alsava.
"Alva...," panggil Felix.
"Pa. Bisa kan panggil aku Sava aja. Kayak yang lainnya."
"Ya udah. Em... Sava, kamu tidur ya..." Felix mengelus kepala Alsava dan diangguki oleh Alsava.
"Papa juga tidur ya, istirahat yang cukup."
"Iya." Felix menarik selimut untuk menutupi tubuh Alsava sampai leher. Ia lalu mencium kening Alsava.
Setelah itu Felix keluar dari kamar dan menutup pintu kamar Alsava dan turun ke bawah. Felix lalu masuk ke dalam kamarnya. Ia merogoh saku celananya dan bermaksud menghubungi Billy, sahabatnya.
"Halo, Bil?"
"Halo, Sobat. Ada apa? Gimana tadi pindah rumahnya?" sapa Billy di seberang sana.
"Lancar. Aku mau bahas soal makam malam kita lusa. Jadi kan?"
"Oh, tentu. Sama sekalian bahas pertunangan Julian sama Sava, kan?"
"Iya. Seminggu setelah acara makan malam lusa, kita adain pertunangannya. Oke?"
"Oke, siap. Biar ini jadi kejutan buat mereka. Mereka kan udah saling kenal. Jadi pasti gampang."
"Hehe... oke, oke. Kalau gitu aku tutup dulu teleponnya."
"Oke."
*****
Julian bersiul-siul sambil sesekali bersenandung kecil di dalam mobilnya. Sudah pukul setengah tujuh, dan ia baru saja keluar dari gerbang rumahnya. Saat ia melintasi rumah Alsava, ia melihat seluruh gordennya tertutup. Baik lantai atas maupun yang di bawah. Gerbangnya pun di gembok.
Julian jadi berpikir-pikir kenapa. Tapi ia fokus lagi dengan jalanan. Sampai akhirnya ia sudah sampai di parkiran sekolahnya. Sambil berjalan di koridor, ia mengeluarkan ponselnya dan menghubungi Alsava.
"Halo!" teriak Alsava terdengar kesal dari seberang sana.
"Santai dong lo! Gue mau nanya nih!" Julian memasukkan satu tangannya di saku celananya sambil terus berjalan di koridor.
"Rumah lo kenapa sepi? Di gembok lagi."
"Gue pindah ke rumah bokap, kenapa? Masalah?"
"Nggak sama sekali. Penasaran doang."
"O."
Julian geram dengan balasan 'O' dari Alsava. Memang cewek payah. Dingin. Cuek. Datar. Kayak tembok. Hidup lagi.
"Di skors berapa lama lo?"
"Dua minggu."
"Mampus lo! Makanya...."
"Bodo amat!"
Tutt... Tutt....
*****
Alsava meremas ponselnya. Ia sangat geram dengan Julian. Entah kenapa ia sangat kesal. Ia jadi tidak nafsu dengan makanan di depannya ini.
"Kenapa, Sayang?" tanya Felix melirik Alsava yang terlihat kesal setelah menerima telepon.
"Nggak papa kok, Pa." Alsava meraih gelas dan menuangkan air putih. Lalu meneguknya.
"Kebiasaan perempuan kalo di tanya kenapa? Selalu bilang nggak papa. Padahal ada apa-apa," sahut Revan tiba-tiba.
"Cih!" Alsava menuang air putih lagi dan meneguknya. Itu terjadi sampai empat kali.
"Lo haus apa gimana?" tanya Revan heran melihat Alsava. "Nasi masih utuh, minum banyak banget."
"Biarain!"
Felix dan Rina hanya saling pandang, kemudian tertawa renyah.
"Ehm... Sava.... Papa mau ngomong sama kamu." Felix angkat bicara setelah semuanya selesai makan. Rina pun sudah membereskan meja makan bersama ART-nya.
"Kan udah ngomong," balas Alsava sambil terkekeh.
"Serius ini."
"Oke."
"Besok malam ada keluarga teman Papa yang ke sini untuk membahas sesuatu yang penting. Jadi kamu harus pakai pakaian yang rapi, oke? Tantemu yang akan mempersiapkan semuanya."
"Apa hubungannya sama pakaianku yang harus rapi?" Alsava menatap datar ayahnya. Tidak mengerti.
"Turutin aja, oke?"
"Oke."
"Ajak teman-teman kamu sekalian nggak papa. Besok seru kok."
"Ya. Oke lah."
Felix dan Rina saling pandang, lalu tersenyum simpul.
*****
"Papa tau kalo Om felix-felix itu ngajak Sava sama Tante Rina pindah rumah?" tanya Julian saat selesai makan malam.
"Udah," jawabnya enteng.
"Oh."
"Oh ya. Besok ikut Papa."
"Ke mana?"
"Ada lah. Kamu ikut aja. Sama Mama, Kak Vera juga."
"Berempat?"
"Ya. Dan pakai yang Mama kamu kasih besok."
"Emang mau ke mana?"
"Ikut aja."
"Ya udah."
"Julian?"
"Kamu suka nggak sih sama Sava?"
Julian melotot. "Apa maksud Papa nanya kayak gitu?"
"Jawab aja kenapa. Iya atau enggak."
Julian diam. Ia tidak mau memberitahukan perasaannya kepada ayahnya. Ia lalu bangkit dari duduknya. "Aku mau ke atas dulu, Pa. Banyak PR."
"Hem...."
Saat Julian sudah tidak lagi terlihat, Billy bergumam, "Papa tau kalau kamu suka sama Sava, Julian. Dengan kamu diam saja itu sudah cukup membuktikan bahwa kamu memang suka. Cinta juga mungkin."
KAMU SEDANG MEMBACA
Alsava
Teen FictionAlsava. Seorang skaters handal. Gadis dengan sejuta rahasia di dalam hidupnya. Cuek, dingin, tidak peduli dengan orang sekitar, teman satu-satunya hanya skateboard yang selalu dia bawa ke mana-mana. Tidak ada yang tahu rahasia dalam hidup Alsava yan...