Dugaannya salah. Inka yang berharap bertemu Pak Harto Minggu ini, justru dipertemukan dengan dosen yang ia hindari. Pak Endi. Inka jadi menyesal menerima tumpangan Pak Endi waktu itu. Inka malu, entah karena apa. Untungnya ia kebagian kursi di barisan paling belakang, Inka bisa bersembunyi di balik punggung teman-temannya. Meminimalisir mata mereka bertemu.
"Pak!" Wulan yang duduk di sebelah Inka mengangkat satu tangannya tinggi-tinggi.
Kan! Niat menghindar, pandangan Pak Endi malah terfokus ke arahnya. Inka segera menundukkan kepalanya.
"Kok Pak Harto belum masuk?"
"Kondisi beliau belum memungkinkan. Jadi, saya masih—"
"Kalau Minggu depan, Pak?" potong Wulan.
Kalau saja tidak ada dosen di depan sana, sudah dari tadi Inka membekap mulut Wulan. Teman sekelasnya yang terbiasa melihat tingkah Wulan hanya geleng-geleng kepala. Tetapi, mungkin tidak untuk Pak Endi.
"Kemungkinan besar Pak Harto masuk minggu depan. Kalian berdoa saja, semoga beliau segera pulih."
"Semoga Pak Endi lagi yang masuk. Aamiin." Wulan berdoa dengan suara amat pelan.
"Wulan, ihh!" tegur Inka. Bisa-bisanya sahabatnya ini berdoa agar Pak Harto tetap sakit.
"Emang lo suka kalau Pak Harto yang masuk?"
Tentu tidak. Tapi, Inka tidak sejahat Wulan.
"Makanya, angkat tangan lo dan doa sama gue." Kali ini, Wulan bahkan tampak khusuk memejamkan mata dan menengadahkan kedua tangannya di depan dada.
Inka segera menarik tangan Wulan turun. Takut Pak Endi melihat dan menegurnya. "Lan, diem."
Wulan mengacungkan ibu jarinya lalu bersandar di kursinya.
"Oke! Kita lanjutkan presentasi Minggu lalu. Kelompok selanjutnya silakan maju."
Kelompok kedua maju tanpa ragu. Berbeda sekali jika yang ada di depan sana Pak Harto. Meskipun mereka percaya diri dengan tugasnya, Pak Harto selalu saja mencari celah untuk dikoreksi. Bagi Pak Harto, apa pun yang disodorkan padanya harus sempurna.
Minggu lalu, Inka juga merasakan hal yang sama. Inka tidak tertekan, Pak Endi tidak pernah menyela penjelasannya. Saat sesi tanya jawab pun, beliau tidak segan membantu Inka jika ada pertanyaan yang sulit. Benar-benar dosen idaman.
"Beb!"
Inka menoleh. "Apa lagi?"
Wulan memang punya panggilan khusus bagi Inka. Beb. Entah kenapa, Inka tidak ingin tahu dan tidak ingin bertanya.
"Nanti lo pulang sendiri, ya," kata Wulan setengah berbisik.
Inka mengangguk, tetapi matanya tetap fokus ke depan. "Mau ke mana lo?"
"Jalan beb, ama pacar. Emang elo, jomlo."
Inka tidak merasa tersinggung. Jomlo itu bukan aib. Selama ini, Inka juga bahagia-bahagia saja hidup tanpa pacar. Seperti lagu dari Oppie Andaresta. I'm single and very happy!
"Awas lo, jangan pulang tengah malam. Gue kunciin baru tau rasa," ancam Inka.
Bukan tanpa alasan Inka melayangkan ancaman barusan. Beberapa kali, Wulan suka lupa waktu dan pulang tengah malam. Belum lagi kebiasaannya yang suka menghilangkan kunci duplikat. Mau tidak mau, Inka harus bangun tengah malam untuk membukakan pintu.
"Iya beb. Nanti gue beliin ciki sama kinderjoy, ya."
"Apaan, emang gue bocah. Martabak aja, Lan. Sekalian camilan buat gue ngedrakor," usul Inka sambil menaikturunkan alisnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Satu Atap, Satu Kampus
Romance"Saya manggilnya Pak atau sayang?" Endi menghela napas pelan lalu menjawab, "Emang kamu berani manggil saya sayang di kampus?" Inka mengendikkan bahu tak acuh. "Kenapa nggak?" Endi mendengus, "Di rumah aja kamu nggak pernah manggil sayang." "Jadi, s...