Chapter 33

137K 10.1K 439
                                    


Mobil Kak Denis berhenti. Tanpa berpamitan terlebih dahulu, Inka menarik tas dari kursi belakang lalu keluar dari mobil. Tidak ada yang perlu dibicarakan dengan kakaknya. Semua sudah jelas saat mereka makan malam waktu itu.

Inka mengembuskan napas lega setelah menutup pintu kosan. Di sini, perasaannya jauh lebih baik. Inka menghampiri kursi di ruang tamu, meletakkan tas di samping kakinya dan merebahkan tubuhnya di sana. Siang ini kosan kosong, Inka sama sekali tidak tahu ke mana penghuninya karena baru memeriksa ponselnya. Begitu Inka menyalakan ponselnya, ada beratus pesan Whatsapp dan panggilan telepon.

200 lebih pesan di grup kelasnya dan sisanya dari Hera, Wulan, dan Mas Endi tentu saja. Tiga hari meninggalkan Mas Endi tanpa kabar membuat Inka merasa bersalah. Tidak memedulikan pesan grup, pesan dari Hera, dan Wulan. Inka langsung membuka jendela chat Mas Endi. Isinya tidak banyak. Tapi setiap harinya Mas Endi tidak pernah absen mencoba mengabari.

Dimulai dari hari di mana Inka pergi tanpa pamit.

Kabarin kalau kamu udah sampai.

Inka?

Kamu rencana tinggal berapa hari?

Kamu kenapa enggak ada kabar sama sekali? Mas enggak masalah kamu pergi enggak pamit tapi kenapa sampai enggak ada kabar kayak gini?

Ini udah hari ketiga, Inka..

Kapan pulang? Mau Mas jemput?

Inka tersenyum samar. Lalu mengetik balasan untuk Mas Endi.

Inka : Aku di kosan, Mas. Baru aja nyampe.

Selesai membalas pesan Mas Endi. Inka meninggalkan ruang tamu menuju kamarnya. Ia ingin mengganti baju agar lebih santai dan segera tidur. Selama tinggal di rumah, tidur Inka tidak teratur dan sering kali begadang. Setiap malam ada saja hal yang mengganggu pikirannya sampai membuatnya sulit tertidur.

Tapi, ada hal lain yang mesti Inka lakukan agar tidurnya jauh lebih nyenyak. Yaitu makan. Inka keluar dari kamar, menuju kamar mandi untuk membasuh muka lalu beranjak ke dapur. Sambil menunggu air mendidih, Inka membuka lemari atas. Mencari mie instan. Tidak butuh waktu yang lama bagi Inka memasak mie instan dan menghabiskannya sampai tetes kuah terakhir.

Waktunya tidur. Namun sebelum itu, ia harus mengunci pintu kosan. Baru saja tangannya memutar kunci, deru mobil terdengar dari halaman depan. Inka kembali membuka pintu lebar-lebar. Dan di sana, mobil Mas Endi sudah terparkir. Sang pemilik mobil keluar dan berjalan dengan langkah lebar menghampiri Inka.

"Mas ngapain ke sini? Bukannya di kampus," tanya Inka maju selangkah.

Mas Endi berhenti tepat di hadapan Inka. Mata Mas Endi meneliti dari ujung kaki hingga ujung kepala Inka. Dan hal yang tidak terduga adalah Mas Endi menyentil dahi Inka. Jujur, ini sedikit lebih sakit dari sentilan sebelum-sebelumnya.

"Maaas!" jerit Inka menutup keningnya.

Mas Endi berkacak pinggang tak peduli Inka yang mengadu kesakitan. "Kamu kenapa enggak ada kabar sama sekali?"

Inka memonyongkan bibirnya kemudian membuang muka. "Aku enggak pernah pegang hape, Mas."

Mas Endi terdengar menghela napas. "Seenggaknya kamu kabarin kalau memang udah sampai. Hera, Wulan, Mas juga khawatir sama kamu."

Satu Atap, Satu KampusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang