Chapter 10

216K 11.3K 150
                                    

Gak jadi up tiap tanggal genap. Tiap hari aja biar cepet—kecuali kalau saya lupa😌



🍒🍒🍒




“Ihh.. Pak Endi ganteng banget difoto ini!”

Kepala Inka secara otomatis menoleh ketika mendengar nama Pak Endi keluar dari mulut Syifa. Padahal otaknya sedang fokus mengerjakan tugas kelompok bagiannya. Inka menggeleng pelan. Berharap bayangan Pak Endi enyah dari kepalanya. Inka menempatkan kesepuluh jarinya di atas keyboard dan mencoba kembali memusatkan perhatian ke layar laptop.

“Untung Instagram-nya enggak diprivate,” timpal Nayla tidak kalah semangat.

Gagal. Inka menoleh lagi. Kedua sahabat itu menatap ponsel yang dipegang Nayla dengan mata berbinar.

“Tapi, Nay. Following-nya dikit banget.” Nayla mengangguk lalu berpindah duduk di sofa. Bagai anak ayam mengekori induknya, Syifa ikut duduk menempel pada Nayla.

Ngomong-ngomong soal Pak Endi, mungkin sudah hampir dua Minggu Inka tidak pernah melihatnya. Di kampus maupun di kos. Hera selalu berangkat sendiri jika ada kuliah pagi. Inka juga tidak ada niat menanyakan keberadaan Pak Endi, meski penasaran. Inka rasa tidak punya hak untuk itu.

“Pak Endi siapa sih? Perasaan mereka berdua menyebut nama itu mulu.”

Inka mengalihkan pandangan ke depan. Menatap Ahmad yang duduk bersila di seberang meja.

“Lo enggak tau Pak Endi?” tanya Nayla dengan kening mengernyit dalam. Seakan tak percaya dengan apa baru saja ia dengar.

Jujur, Inka juga kaget. Ahmad tidak mengingat nama dosennya sendiri.

“Parah banget lo!” seru Syifa setengah teriak.

Ahmad memutar bola matanya malas lalu beralih menatap Inka. Menunggu jawaban.

Inka menghela napas sebelum menjawab, “Pak Endi itu dosen yang biasa gantiin Pak Harto.”

Mulut Ahmad setengah terbuka. “Ohh, yang itu. Gantengan juga gue.”

“Enak aja!” ujar Syifa tak terima. “Kalian itu beda tingkatan.”

Ahmad menjentikkan jarinya. “Iya, gue di atas. Pak Endi di bawah. Iya, kan?”

“Ihh nyeselin banget nih orang!” balas Syifa sinis.

“Lo terlalu percaya diri, Mad,” kata Nayla tenang. Tapi, agak nyelekit.

“Udah, udah.” Akhirnya Inka turun tangan. Lelah mendengar mereka. Perdebatan mereka bisa terus berlanjut kalau tidak ada yang melerai. “Mad, bagian lo udah beres belum?”

Ahmad mengacungkan ibu jarinya ke udara. “Udah Bu Bos!”

“Nay?” Inka melirik Nayla yang sibuk menggulir layar ponselnya.

“Dikit lagi. Nanti gue lanjutin kalau kalian udah pada balik,” jawab Nayla tanpa mengalihkan pandangan.

Inka mengangguk. Ia percaya Nayla tidak akan meninggalkan tugasnya. Selama ini, Nayla termasuk mahasiswa yang dikenal di kalangan dosen. Selain karena ayahnya dosen, Nayla juga termasuk mahasiswa yang cerdas dan aktif.

Satu Atap, Satu KampusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang