Jujur saja, Inka risih. Sejak turun dari lantai dua bersama Hera, duduk di meja makan dan mulai menyantap makanan yang tersedia. Wulan tidak henti-henti menatapnya dan Pak Endi secara bergantian. Saat Inka memergokinya pun, Wulan sama sekali tidak menundukkan pandangannya.Inka ikut melirik sekilas ke arah Pak Endi. Laki-laki itu sepertinya tidak sadar.
"Wulan."
Meski bukan namanya yang dipanggil, Inka tetap ikut menoleh.
"Eh? Iya, Pak!" ujar Wulan sedikit tersentak.
"Kamu mau tanya sesuatu?" tanya Pak Endi meneguk habis air di dalam gelasnya.
Inka mengerutkan kening dan masih menatap Pak Endi.
"Maksudnya, Pak? Soal mata kuliah Bapak?" tanya Wulan.
"Bukan," jawab Pak Endi lalu melirik Inka sembari tersenyum. "Tentang saya sama Inka."
Wulan langsung tersenyum cerah, berbeda dengan Inka yang terserang panik secara tiba-tiba. Pertanyaan Wulan kan kadang aneh.
"Bapak belum ada niat nembak Inka?"
Pak Endi terlihat menarik napas untuk menjawab pertanyaan Wulan namun Inka cepat-cepat meremas tangan Pak Endi yang ada di bawah meja. Kata yang ingin Pak Endi ucapkan tertahan di tenggorokan. Pak Endi menatap Inka dengan alis terangkat.
Inka menggeleng samar lalu mengalihkan pandangan ke depan. "Lan, gue kan udah pernah jawab," desisnya.
"Hera juga dengar waktu lo nanya gitu," lanjut Inka diikuti anggukan setuju Hera.
Inka mendesah lega saat Wulan tak lagi menyahut namun dari raut wajahnya, belum begitu puas. Teringat tangannya yang masih berada di pangkuan Pak Endi. Inka yang berniat menarik tangannya terhenti ketika Pak Endi justru menggenggamnya semakin erat. Untung saja Tuhan telah menciptakan makhluknya dengan sebaik-baiknya, kalau tidak Inka yakin jantungnya bisa melompat keluar karena kelakuan Pak Endi.
"Iya, jawaban saya sama kayak Inka," kata Pak Endi.
Inka berusaha menarik tangannya namun nihil, kekuatan Pak Endi jauh lebih besar.
"Jangan lama-lama, ntar Bapak ditikung sama mantannya Inka."
Pertanyaan Wulan mendapat pelototan dari Inka. Menyebut kata mantan di depan pacar adalah sesuatu yang terlarang.
"Kalau gitu, saya nembak kamu sekarang aja. Gimana?"
Inka menoleh masih dengan mata terbuka lebar. Sekarang apa lagi? Pak Endi benar-benar membuat jantungnya bekerja keras.
Hera terbatuk dan hampir menyemburkan nasi di dalam mulutnya. Sementara Wulan terlihat antusias menunggu jawaban Inka.
"Beb, jawab! Malah diem," desak Wulan membuat Inka semakin linglung.
Inka tidak bisa membayangkan akan seperti apa jantungnya jika hubungannya dengan Pak Endi berjalan cukup lama. Mudah-mudahan saja jantungnya bisa mengerti.
"Pak," panggil Inka pelan.
"Iya?"
"Terima.. Terima.. Terima.." seru Wulan mengangkat kepalan tangannya ke atas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Satu Atap, Satu Kampus
Romance"Saya manggilnya Pak atau sayang?" Endi menghela napas pelan lalu menjawab, "Emang kamu berani manggil saya sayang di kampus?" Inka mengendikkan bahu tak acuh. "Kenapa nggak?" Endi mendengus, "Di rumah aja kamu nggak pernah manggil sayang." "Jadi, s...