Happy reading💋
🍒🍒🍒
“Jujur, lo ada hubungan apa sama Pak Endi?” tanya Wulan setengah berbisik.
“Hahaha ...” Inka tertawa sumbang menutupi kepanikannya. Dipikir-pikir perlakuan Pak Endi kemarin memang terlalu kentara. Ditambah lagi, percakapan junior mereka tentang Pak Endi yang tiba-tiba meninggalkan kelas.
“Enggak ada,” Inka menggeleng.
“Serius lo? Sampe pipi lo dielus-elus, itu beneran enggak ada hubungan apa-apa?”
“Serius. Pak Endi kayak gitu mungkin karena gue teman adeknya,” jawab Inka pelan takut ada yang mendengar.
“Emang iya? Berarti Pak Endi harusnya khawatir juga dong ama gue.”
“Yakan yang kemarin kecopetan gue, makanya Pak Endi kayak gitu.”
Wulan mencondongkan tubuhnya ke telinga Inka dan berbisik, “Atau jangan jangan, Pak Endi suka sama lo.”
Wajah Inka menegang. Tebakan Wulan sangat tepat sasaran. Lagi lagi Inka terpaksa tertawa. “Enggak mungkin, lah.”
“Iya juga sih. Secara, cantikan gue ke mana-mana.” Wulan mengedipkan sebelah matanya.
Inka akui itu.
Hal inilah yang kadang Inka pertanyakan. Kenapa Pak Endi menyukainya? Dari segi fisik, Inka biasa saja. Tidak menonjol dibandingkan mahasiswi lain. Dan untuk disandingkan bersama Pak Endi, menurut Inka mereka tidak begitu cocok.
“Pede banget lo.”
“Itu kenyataan beb, gue enggak bisa ngelak,” kata Wulan mengibas rambut panjangnya yang dikuncir satu.
“Gue enggak denger.” Inka menutup telinganya menggunakan telapak tangannya.
“Makanya conge dibersihin.”
Absurd begini, Inka tetap menganggap Wulan teman. Sungguh mulia hati Inka.
***
Inka melempar tubuhnya ke atas kasur tanpa menanggalkan sepatu dan totebag-nya. Entah kenapa tulang-tulangnya terasa lemas padahal ia hanya mengikuti dua mata kuliah hari ini. Inka heran, Wulan selalu ada tenaga jalan bersama pacarnya setelah kuliah selesai. Stamina mereka jauh berbeda.
Ini saat yang tepat untuk tidur. Inka mengangkat tangan dan menggantungnya di udara, pukul empat sore. Ia bisa tidur satu jam lalu mandi dan menyiapkan makan malam. Oke. Ketika Inka berniat melepas sepatu, matanya menangkap benda pipih di atas nakas samping tempat tidurnya.
Inka langsung bangkit dan duduk di bibir tempat tidur. Lalu meraih ponsel yang sangat mirip dengan miliknya yang hilang dua hari yang lalu. Ragu-ragu Inka mengusap layarnya ke atas dan kejutan! Ini benar ponselnya, wallpaper-nya sama. Tanpa pikir panjang, Inka keluar dari kamar menuju lantai dua. Tepatnya kamar Hera.
Inka mendorong pintu. “Hera, ini siapa yang bawa?” tanyanya mengangkat ponsel di tangannya.
“Oh, Kak Inka udah pulang?” Hera mengubah posisi tidurnya menjadi bersandar di kepala tempat tidur. “Masuk, Kak.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Satu Atap, Satu Kampus
Romance"Saya manggilnya Pak atau sayang?" Endi menghela napas pelan lalu menjawab, "Emang kamu berani manggil saya sayang di kampus?" Inka mengendikkan bahu tak acuh. "Kenapa nggak?" Endi mendengus, "Di rumah aja kamu nggak pernah manggil sayang." "Jadi, s...