Saya ada jadwal ngajar. Ke pasarnya enggak bisa besok?"
Inka bersorak dalam hati. Ia tidak perlu terjebak bersama laki-laki yang semalam menyatakan cinta padanya.
"Yaa Mas ..." Hera mendesah kecewa. "Kulkas kita udah kosong."
"Hera, aku perginya sama Wulan aja," sela Inka.
"Kamu naik apa?"
Inka sedikit mendongak walau ragu melirik Pak Endi yang berdiri di sisi Hera. "Motor, Pak," cicitnya.
Hening sesaat.
"Dek, kamu masuk kamar dulu."
Titah Pak Endi barusan membuat Inka gelagapan. Kalau Hera pergi, tersisa mereka berdua dong. Oh, jangan. Inka mengikuti setiap gerak Hera yang semakin menjauh. Bagaimana ini?
"Inka.."
"Iya, Pak?" Inka meyakinkan diri untuk berpikir tidak ada apa-apa yang terjadi kemarin.
Pak Endi terdengar menghela napas. "Apa yang saya bilang kemarin itu serius."
Darah Inka seakan naik dan berkumpul di wajahnya. Sekarang pipinya benar-benar terasa panas. Lagi-lagi Pak Endi membahas hal yang ingin Inka lupakan sejenak.
"Pak.."
"Saya ngerti, kamu mungkin berpikir kenapa saya bisa suka sama kamu padahal kita belum lama ini kenal. Iya, kan?"
Inka menunduk, mengangguk pelan.
Pak Endi terdengar menghela napas lagi, kali ini sedikit lebih panjang. "Saya juga enggak tau kenapa."
Akhirnya Inka mendongak, menatap malu Pak Endi yang ternyata sudah duduk di hadapannya.
"Kamu jangan coba menghindar. Asal kamu tau, saya itu pantang menyerah," pamer Pak Endi tersenyum lebar.
Pengakuan yang sungguh di luar dugaan. Inka sampai harus menahan senyumnya. "Pak, untuk sekarang Wulan jangan sampai tau kalau Bapak suka sama saya, ya?"
"Loh kenapa? Dia kan teman kamu."
Inka menggaruk pelipisnya yang tidak gatal. "Aduh, gimana ya, Pak. Pokoknya jangan dulu deh."
"Oke, enggak masalah," kata Pak Endi mengangguk setuju. "Ada lagi?"
"Enggak ada, Pak."
"Ya udah. Saya ke kamar Hera dulu," Pak Endi berdiri, mengitari meja menghampiri Inka. "Kamu hati-hati bawa motornya."
Dan tahu apa yang terjadi selanjutnya? Pak Endi mengusap pelan pucuk kepala Inka dan berlalu begitu saja. Meninggalkan Inka yang terbengong dengan tubuh kaku.
***
Matahari semakin tinggi, segala macam bau mulai tercium ditambah debu halus yang ikut mengganggu indra penciuman Inka. Inilah kekurangan berbelanja di pasar. Tapi kelebihan paling utama sangat menguntungkan bagi anak kos.
Betul sekali, bisa ditawar. Hampir dua tahun tinggal bersama Wulan, Inka tidak pernah terpikir untuk berbelanja bahan makanan di tempat lain.
"Beb, ini udah enggak ada yang kelupaan?"
Inka menoleh ke belakang, "Emm.. Udah semua kayaknya," lalu menggantung kantong kresek besarnya dimotor.
"Yakin lo?"
"Bentar gue lihat dulu." Inka merogoh saku hoodie-nya. Sebelum ke sini, Inka memang sudah membuat list di ponsel segala keperluan yang mereka bertiga butuhkan.
"Astaga! Hampir lupa," seru Inka menepuk jidatnya. "Hera nitip jeruk."
"Tuh, kan! Makanya otak jangan lupa di bawa."
KAMU SEDANG MEMBACA
Satu Atap, Satu Kampus
Romance"Saya manggilnya Pak atau sayang?" Endi menghela napas pelan lalu menjawab, "Emang kamu berani manggil saya sayang di kampus?" Inka mengendikkan bahu tak acuh. "Kenapa nggak?" Endi mendengus, "Di rumah aja kamu nggak pernah manggil sayang." "Jadi, s...