Inka mematung di depan cermin. Berkali-kali ia menghela napas karena kacamata yang dikenakan tidak bisa menyembunyikan matanya yang bengkak. Mau pakai kacamata hitam, terlalu berlebihan. Orang-orang akan mengira ia berniat ke pantai, bukan kuliah. Ini bukan salah drama Korea. Semalam, kedatangan tamu membuatnya kembali mengenang masa lalu. Dan sialnya, Inka ada kuliah pagi. Pak Harto itu, entah kenapa sangat suka jam kuliah pagi. Dibandingkan dosennya yang lain, Pak Harto satu-satunya yang masih senang masuk pagi.Iya, Inka tahu. Menerima materi belajar memang lebih baiknya dijam-jam ketika otak masih segar-segarnya. Tetapi, paginya Pak Harto itu berlebihan. Jam tujuh. Mana bisa segar dan berkonsentrasi dengan kelopak mata berat seperti ini.
Baiklah. Inka pasrah. Kalaupun ada yang bertanya, Inka bisa berkilah. Kali ini ia akan menyalahkan drama Korea.
Inka keluar dari kamar, melangkah cepat menuju dapur. Bukannya melihat Hera seperti biasa, Inka justru bertemu Pak Endi. Dosennya itu tengah duduk tenang di meja makan. Inka sempat menghentikan langkahnya, kemudian berpikir cepat. Melanjutkan niatnya untuk minum atau putar balik dan langsung berangkat? Inka sudah memutar tubuhnya ke belakang ketika sebuah pertanyaan muncul di kepalanya. Kenapa ia harus menghindar? Benar juga. Inka tidak punya alasan ataupun salah pada Pak Endi.
Inka menghela napas sembari melangkah menghampiri meja makan. "Pagi, Pak."
Pak Endi membalas sapaan Inka dengan satu anggukan.
Ketika tangannya menuang air ke dalam gelas, Inka sempat melirik Pak Endi yang duduk dengan wajah datar. Baru kali ini Inka melihat ekspresi dingin Pak Endi. Kalau di kosan, muka Pak Endi selalu ramah dan bersahabat. Sepertinya moodnya tidak baik.
"Hera mana, Pak?" tanya Inka basa-basi.
"Lagi mandi. Tadi teman kamu berangkat duluan."
Inka mengangguk sambil menandaskan air di dalam gelasnya. Wulan memang senang meninggalkan Inka, biasanya mereka lebih sering pulang bersama. Urusan berangkat ke kampus, mereka berdua tidak saling menunggu.
Baru saja Inka meletakkan gelasnya di atas meja, helaan napas kasar terdengar. Pak Endi berdiri dan berjalan menghampirinya. Pak Endi yang berjarak sejengkal di hadapannya membuat Inka harus mendongak. Jujur, Inka tidak mengerti arti tatapan Pak Endi.
Aksi saling tatap tidak berlangsung lama karena Pak Endi menarik pergelangan tangan Inka. Menggiringnya duduk disalah satu kursi. Dan tanpa kata Pak Endi melenggang ke arah kulkas lalu mengeluarkan dua buah sendok dari dalam freezer.
Pak Endi lalu duduk menyerong di samping Inka. "Pake ini."
Inka mengangkat kedua alisnya. "Ini buat apa, Pak" tanya Inka namun tetap meraih kedua sendok yang terbilang cukup dingin.
Inka yang masih bingung harus apa dengan dua sendok di tangannya semakin bingung dan terkejut ketika dua tangannya terbungkus tangan besar. Siapa lagi pemiliknya kalau bukan Pak Endi.
"Buat mata kamu," balas Pak Endi lalu menutup kedua mata Inka dengan sendok.
Inka terperanjat diikuti ringisan. "Ihh dingin, Pak." Inka berniat mendorong sendok dari matanya namun tangan Pak Endi menahannya.
"Mata kamu bengkak banget. Tahan sebentar."
Inka yang tidak bisa melihat apa-apa akhirnya pasrah. Sekaligus membiarkan tangan Pak Endi tetap menggenggam tangannya. "Eh, berapa lama, Pak? Saya soalnya ada kelas. Ini mata saya juga enggak apa-apa kok, Pak. "
KAMU SEDANG MEMBACA
Satu Atap, Satu Kampus
Romansa"Saya manggilnya Pak atau sayang?" Endi menghela napas pelan lalu menjawab, "Emang kamu berani manggil saya sayang di kampus?" Inka mengendikkan bahu tak acuh. "Kenapa nggak?" Endi mendengus, "Di rumah aja kamu nggak pernah manggil sayang." "Jadi, s...